Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya dukungan negara-negara anggota G7 untuk mereintegrasikan gandum Ukraina serta komoditas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasokan global.
Menurutnya ada dua cara untuk merealisasikan hal tersebut. Yang pertama, segera memfasilitasi ekspor gandum Ukraina. Kedua, melakukan komunikasi secara proaktif kepada dunia agar komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi.
Permintaan pencabutan sanksi tersebut dilontarkan oleh Jokowi pada saat banyak negara memberlakukan berbagai sanksi terhadap Rusia. “Komunikasi intensif ini perlu sekali dilakukan sehingga tidak terjadi keraguan yang berkepanjangan di publik internasional. Komunikasi intensif ini juga perlu dipertebal dengan komunikasi ke pihak-pihak terkait seperti Bank, asuransi, perkapalan dan lainnya,” ungkap Jokowi seperti dikutip dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (28/6).
Permintaan ini bukanlah tanpa alasan. Perang, kata Jokowi, berdampak sangat siginifikan terhadap rantai pasokan pangan dan pupuk. “Khusus untuk pupuk, jika kita gagal menanganinya, maka krisis beras yang menyangkut 2 milyar manusia terutama di negara berkembang dapat terjadi,” tuturnya.
Lebih jauh, dalam ajang KTT G7 ini, Jokowi kembali menyerukan agar negara-negara anggota G7 dan G20 untuk bekerja sama mengatasi krisis pangan yang tengah mengancam rakyat khususnya di negara-negara berkembang agar tidak jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem.
“323 juta orang di tahun 2022 ini, menurut World Food Programme (WFP), , terancam menghadapi kerawanan pangan akut. G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk atasi krisis pangan ini. Mari kita tunaikan tanggung jawab kita, sekarang, dan mulai saat ini,” tegas Jokowi.
Ia menekankan pangan adalah permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang paling dasar. Kaum perempuan dari keluarga miskin dipastikan menjadi yang paling menderita sewaktu menghadapi kekurangan pangan.
“Kita harus segera bertindak cepat mencari solusi konkret. Produksi pangan harus ditingkatkan. Rantai pasok anpangan dan pupuk global, harus kembali normal,” ucap Presiden.
Dalam kesempatan ini Jokowi juga meminta para kepala negara anggota G7 untuk ikut serta berinvestasi dalam sektor energi bersih terutama dalam pengembangan mobil listrik dan baterai lithium di tanah air.
Menurutnya, potensi Indonesia sebagai kontributor energi bersih, baik di dalam perut bumi, di darat, maupun di laut, sangat besar. Indonesia, katanya, membutuhkan investasi besar dan teknologi rendah karbon untuk mendukung transisi menuju energi bersih yang cepat dan efektif.
“Indonesia membutuhkan setidaknya 25-30 miliar USD untuk transisi energi delapan tahun ke depan. Transisi ini bisa kita optimalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi, membuka peluang bisnis, dan membuka lapangan kerja baru,” jelasnya.
Lebih lanjut, presiden juga menyampaikan bahwa di Indonesia dan juga di negara-negara berkembang lainnya, risiko perubahan iklim sangat nyata. Risikonya bukan hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga menyulitkan petani dan nelayan.
“Dukungan semua negara G7 di Presidensi Indonesia di G20 sangat kami harapkan. Sampai bertemu di Bali. Terima kasih,” tuturnya.
Kontradiktif
Dosen Hubungan Internasional dan Komunikasi Politik Universitas Jember Muhammad Iqbal mengatakan seruan Jokowi di ajang G7 untuk berinvestasi di sektor energi bersih dan juga permintaan pencabutan sanksi terhadap pupuk dan pangan Rusia boleh dikatakan kontradiktif.
Pasalnya, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal energi bersih belum maksimal, apalagi Indonesia masih memiliki ketergantungan pasar impor pupuk dan gandum.
Dalam sektor pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) misalnya, realisasinya masih jauh dari target. Padahal potensi Indonesia di sektor itu sangat besar. Selain itu, kebijakan pangan dan pupuk masih belum berpihak kepada rakyat kecil.
“Saya kira akan ke sana arahnya (kontradiktif). Kalau melihat bagaimana respons negara G7 ketika Jokowi mengusung untuk investasi pangan maupun energi bersih, mengingat kondisi dalam negeri faktanya adalah seperti pembangunan untuk energi bersih terus dilakukan iya, namun persoalannya yang energi fosil , dan kecenderungan untuk impor gandum dan pupuk itu relatif angkanya tidak berkurang, justru malah naik. Terlebih lagi subsidi pangan dan pupuk justru dalam dua tahun terakhir cenderung berkurang dan banyak dipangkas,” ungkapnya kepada VOA.
Menurut Muhhamad, sekembalinya Jokowi ke tanah air, pemerintah harus bergerak cepat untuk memaksimalkan sektor pangan dan memanfaatkan energi. Hal ini, katanya, untuk membuka mata dunia bahwa Indonesia juga turut andil dalam menekan pemanasan global dan meningkatkan ketahanan pangan.
”Perpernyataan Jokowi di satu sisi memang patut kita dorong, tapi di sisi lain kita harapkan ketika kembali ke tanah air, Jokowi bisa terus gerak cepat memerintahkan menteri-menteri untuk melakukan banyak terobosan dalam waktu yang tersisa sampai dua tahun ini supaya tahun depan Indonesia angka untuk menekan suhu bumi, ancaman pemanasan global, termasuk ekpansi untuk bisa memperoleh kecukupan dalam ketahanan pangan itu,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum