Meski kerap mengundang protes dari delegasi sejumlah negara, kehadiran Rusia dalam berbagai agenda pertemuan G20 tidak dapat dihindari. Indonesia harus fokus pada agenda utama yang ditetapkan.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Riza Noer Arfani menyebut, penolakan terhadap keterlibatan Rusia di pertemuan G20 adalah drama diplomasi. Tujuannya, untuk mempengaruhi opini publik internasional, mengenai rusia yang dianggap sebagai agresor Ukraina.
“Kita konsisten saja. Tetap mengundang semuanya termasuk Rusia di dalamnya. Ini kan forum awal yang menjadi agenda utama G20, dan tidak langsung terkait dengan isu-isu geopolitik. Jadi sebetulnya tidak ada alasan untuk tidak mengundang semuanya, karena semuanya harus berkiprah disana, Apalagi isu-isu teknikal, seperti kesehatan, energi atau transformasi digital,” kata Riza kepada VOA.
Goyangan di Yogyakarta
Dalam pertemuan pertama Menteri Kesehatan G20 dan pertemuan bersama pertama Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan G20 di Yogyakarta, 20-21 Juni 2022, drama diplomasi internasional seperti disebut Riza, memang terjadi.
Perwakilan kementerian kesehatan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Italia, dan Inggris menyebut invasi Rusia ke Ukraina telah mengacaukan sistem kesehatan negara itu.
Protes keras disampaikan, antara lain oleh penasihat diplomatik untuk Menteri Kesehatan Italia, Davide la Cecilia.
“Italia mengekspresikan solidaritas sepenuhnya terhadap Ukraina dan rakyat Ukraina. Italia mengutuk dalam bentuk paling keras yang mungkin bisa diberikan, terhadap provokasi dan agresi militer Rusia, yang melanggar hukum internasional dan Piagam PBB dan menjadi ancaman bagi stabilitas internasional,” kata la Cecilia.
Ucapan keras juga disampaikan Wakil Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat, Andrea Palm.
“Jauh dari mempromosikan kesehatan global, Rusia telah merusak layanan kesehatan, menghancurkan kesehatan, dan terus menyerang bangunan tempat warga sipil tak berdosa termasuk anak-anak berlindung,”kata Palm.
Rusia tentu tidak diam. Wakil Menteri Kesehatan negara itu, Oleg Salagay, mendesak G20 tidak mempolitisasi pertemuan di bidang kesehatan itu.
"Kami meminta kolega kami agar tidak mempolitisasi pembicaraan kesehatan G20 dan tetap dalam mandat kita serta membahas perawatan kesehatan,” ujar Oleg.
Seolah tidak mau kalah, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins turut mengutuk Rusia. Ungkapan itu dia sampaikan seusai bertemu Gubernur DI Yogyakarta, Selasa (21/6).
Owen mengatakan, Indonesia telah menetapkan berbagai agenda yang benar-benar dibutuhkan dunia, dengan fokus pada kesehatan, transformasi digital dan transisi energi. Invasi Rusia ke Ukraina, kata Owen, membuat situasi menjadi sulit.
“Kenyataannya adalah, serangan brutal bertubi-tubi Rusia terhadap warga sipil Ukraina, termasuk serangan terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan yang juga didiskusikan di G20, telah membuat semuanya sangat sulit untuk kita semua untuk bisa fokus pada isu-isu yang sangat penting bagi kita dan masyarakat kita,” kata Owen.
Owen juga mengatakan, disinformasi, berita palsu dan kebohongan yang disebarkan Rusia tentang invasi brutal mereka di Ukraina, membuat semuanya sangat sulit.
“Kami terus mendukung Indonesia dalam presidensi G20 untuk terus menetapkan fokus pada agenda-agenda penting. Tetapi juga tidak menanggapi invasi Rusia ke tanah merdeka Ukraina, sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja,” ucapnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ketika ditanya terkait kehadiran Rusia dan suara keras negara-negara G20 lain, menjawab dengan diplomatis. Dia mengatakan, bahwa kehadiran semua negara adalah refleksi rasa hormat mereka.
“Itu akan merefleksikan penghormatan setiap negara anggota G20 terhadap Indonesia, presiden kita dan presidensi Indonesia di G20. Dan kita sangat berterima kasih kepada semua negara anggota, untuk penghormatan itu,” ujarnya.
Peran Rusia Tetap Penting
Riza Noer Arfani mengingatkan, dunia saat ini sedang berada dalam sejumlah krisis, termasuk ancaman di sektor ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina. Justru, semangat G20 "Recover Together, Recover Stronger" membutuhkan peran seluruh pihak, termasuk Rusia. Pertemuan yang digelar sebelum pertemuan puncak di Bali, November 2022 nanti, termasuk bagian dari upaya pemulihan kondisi dunia.
Pekan pertama Juli nanti, akan diselenggarakan pertemuan Menteri Luar Negeri, dalam rangkaian G20. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina, diharapkan membawa manfaat nyata, sehingga Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, lebih mampu memainkan perannya dalam pertemuan dua pekan lagi.
“Kunjungan ke Ukraina dan Rusia bisa dipakai untuk merancang “drama” yang kita inginkan, yang tidak didikte oleh siapapun, kecuali oleh kita sendiri sebagai pemegang presidensi,” kata Riza.
Drama yang dimaksud Riza, adalah skenario terbaik untuk memastikan seluruh pihak hadir dalam pertemuan G20. Salah satu yang pernah diwacanakan, adalah kehadiran Ukraina di Bali, November nanti.
“Di awal ada indikasi bermacam-macam kompromi diantara para pihak ini, yakni ketika nanti bertemu di pertemuan puncak G20, dengan antara lain menghadirkan tidak hanya Rusia, tetapi juga Ukraina. Nah, ini adalah salah satu skema yang bisa dibayangkan,” lanjutnya.
Pertanyaannya tentu adalah, dalam kerangka apakah Ukraina yang bukan anggota G20 hadir dalam pertemuan puncak tersebut.
Menurut Riza, isu yang paling penting saat ini adalah kebangkitan ekonomi. “Tidak ada agenda lain yang lebih penting selain 'Recover Together, Recover Stronger'. Patut ditekankan bahwa dunia terancam oleh konflik berkepanjangan ini. Kita sekarang sedang menhadapi macam-macam krisis yang nanti ujungnya diperkirakan akan ada global stagflation, inflasi yang berpadu dengan kemandekan ekonomi,” urai Riza memberi alasan.
Kehadiran Ukraina Strategis
G20 hadir untuk merespon berbagai persoalan di sektor ekonomi yang dihadapi anggotanya, dan dunia secara umum. Saat ini, krisis multidimensi yang muncul akibat invasi Rusia ke Ukraina, menjadi faktor dominan yang memperburuk kondisi ekonomi global. Karena itulah, G20 sebenarnya memiliki tugas berat, untuk turut menyelesaikan konflik itu, agar dampak ikutannya tidak terus memburuk.
Pengamat hubungan internasional Universitas Diponegoro, Semarang, Marten Hanura S IP. M PS menyebut, tugas itu bisa diselesaikan dengan dukungan seluruh pihak, termasuk Ukraina.
“Jika memang mengundang Ukraina ini dipandang sebagai solusi, mencari titik temu untuk segera menyelesaikan persoalan, saya kira tidak ada salahnya, dengan berdasarkan mekanisme keputusan kesepakatan negara G20,” kata Marten kepada VOA.
Meski memegang presidensi G20, Indonesia tidak bisa serta merta mengundang Ukraina dalam pertemuan puncak bulan November 2022 nanti. Karena Ukraina bukan anggota, maka keputusan untuk mengundang harus menjadi kesepakatan bersama.
Marten menambahkan, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina, bisa menjadi jalan pembuka terkait upaya tersebut. Namun, sebenarnya bukan hanya Rusia saja yang harus diyakinkan, upaya ini baru akan berhasil jika Ukraina dan negara-negara Barat yang selama ini mendukungnya, memiliki semangat yang sama untuk menyelesaikan konflik.
Marten mengingatkan, meski konflik Rusia dan Ukraina adalah persoalan politik, dampaknya turut memperburuk ekonomi dunia. Karena itu, forum G20 harus mampu berperan, sebagaimana catatan sejarah pada 2008 ketika negara-negara anggotanya mampu berperan aktif menyelesaikan krisis ekonomi saat itu.
“Dampak yang ditimbulkan cukup luas. Ada inflasi, ada kekurangan atau krisis pangan. Dua negara yang berkonflik ini memlilki pengaruh besar, terutama dalam hal pangan, seperti gandum, minyak bunga matahari, juga minyak dan gas bumi. Sehingga memang, untuk mengatasi berbagai krisis, terutama krisis pangan, harus segera menyelesaikan konfliknya,” tambah Marten.
Posisi presidensi Indonesia di G20 sebenarnya cukup strategis, karena selama ini dikenal sebagai negara netral dengan politik bebas aktif. Diharapkan baik Rusia maupun Ukraina serta negara pendukung masing-masing, memiliki kepercayaan terhadap langkah yang diambil Indonesia.
Marten menegaskan, jika Indonesia bisa menggunakan momentum presidensi G20 untuk melakukan mediasi antara Ukraina dengan Rusia sehingga perdamaian tercipta, Indonesia akan menorehkan sejarah prestasi dalam kepemimpinan global.
“Namun sebaliknya, jika belum berhasil maka kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional untuk merespon persoalan global yang saat ini sedang dihadapi, dianggap belum mumpuni,” ujarnya. [ns/ka]