Tak lama setelah sholat pada musim dingin yang hangat, orang-orang terlibat obrolan ringan di Brooklyn Avenue Atlantic, sebelum mereka kembali bekerja. Itu adalah pemandangan normal pada hari kerja biasa, pada tahun yang penuh gejolak bagi komunitas Muslim di New York.
Jemaat yang beraneka latar belakang, berkumpul di masjid setempat, Masjid Al-Farooq, termasuk imigran dari Yaman, Chad dan negara-negara lain yang terkena larangan berkunjung ke AS. Prospek masyarakatini suram, satu tahun setelah larangan bepergian ke Amerika oleh Trumpdiajukan ke Mahkamah Agung. Larangan perjalanan itu sudah dipertentangkan dan direvisi beberapa kali.
"Bayangkan jika tidak bertemu dengan ibu, ayah, dan saudara; bayangkan mereka berada di tempat lain dan kita tahu apakah mereka dalam keadaan aman," kata Ali Abdul, seorang Amerika keturunan Yaman. Abdul menambahkan bahwa beberapa temannya menjauhkan diri karena permasalahan yang mereka hadapi.
Yaman, yang terjebak dalam perang saudara selama tiga tahun, adalah satu dari enam negara berpenduduk mayoritas Muslim yang warga negaranya dilarang masuk ke Amerika. Larangan itu mengatakan hal itu diperlukan untuk melindungi orang Amerika dari serangan teroris.
Namun berbeda dari Yaman, yang termasuk dalam larangan awal Trump Januari lalu, Chad, sebuah negara Afrika Tengah tiba-tiba diikutsertakan dalam versi ketiga dari Keputusan Presiden pada September itu. Kebijakan itu membingungkan imigran Chad seperti Hassane Mayo-Abakaka, seorang pemegang kartu hijau dari Chad dan ayah lima anak, yang sudah tinggal di kota New York selama 19 tahun.
"Chad adalah anggota aktif G5 di Sahel yang memerangi terorisme di wilayah itu," kata Mayo-Abakaka, merujuk pada sebuah pasukan anti-teror lima negara di sub-Sahara Afrika. [ps/jm]