Tautan-tautan Akses

Dinamika Arsitektur Rumah Jawa dan Tantangan Pelestariannya


Bangunan baru berarsitektur Jawa yang digunakan sebagai resto Ndalem Nampan. (Foto: VOA/Nurhadi)
Bangunan baru berarsitektur Jawa yang digunakan sebagai resto Ndalem Nampan. (Foto: VOA/Nurhadi)

Rumah Jawa, seperti joglo dan limasan memiliki gaya arsitektur yang menembus batas waktu. Meski penuh filosofi, gaya arsitektur ini memiliki sejumlah tantangan agar bisa bertahan di masa depan.

Agus Wahyu Triwibowo tinggal bersama keluarga besarnya di Jagalan, Kotagede, Yogyakarta. Rumah itu memiliki joglo di bagian depan, dan bangunan tambahan di belakang. Seiring waktu, rumah itu mengalami adaptasi, seperti penambahan dinding bata di bagian joglo. Ruang senthong di sisi belakang joglo, yang fungsi aslinya adalah tempat menyimpan barang berharga dan hasil panen, difungsikan sebagai kamar.

“Kalau tembok batanya dibongkar, akan terlihat lagi joglo-nya. Tetapi memang dari awal, ruang-ruangnya tidak begitu berfungsi secara arsitektur Jawa,” kata Agus kepada VOA.

Adaptasi pada bangunan berarsitektur Jawa milik Agus Wahyu, jamak terjadi di banyak rumah lain. Faktornya bermacam-macam, mulai dari semakin bertambahnya penghuni, proses renovasi, hingga faktor kebencanaan.

Rumah Jawa dengan dinding batu bata telah umum ditemukan di pedesaan. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)
Rumah Jawa dengan dinding batu bata telah umum ditemukan di pedesaan. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)

Perubahan Tak Terelakkan

Joglo dan limasan adalah contoh bentuk arsitektur rumah Jawa yang masih lestari. Meskipun harus diakui, seperti dalam kasus rumah Agus Wahyu tadi, terjadi perubahan karena berbagai pengaruh. Pengajar arsitektur di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Revianto Budi Santoso, menyebut perubahan itu terjadi bisa karena faktor waktu, lokasi hingga status sosial pemiliknya.

"Rumah Jawa dari satu masa ke masa mengalami perubahan, di tempat yang satu ke tempat yang lain juga memiiki variasinya. Strata sosial yang satu ke yang lain juga ada beberapa cirinya,” kata Revianto, dalam diskusi terkait Arsitektur Rumah Jawa, Kamis (13/1).

Tentu ada upaya pelestarian sejak dulu, melalui rumusan baik tertulis maupun tidak. Salah satu bentuk rumusan tertulis, terangkum dalam primbon, yang berisi manual atau petunjuk praktik dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk arsitektur. Namun perubahan tetap terjadi.

Joglo atau limasan terbuka adaptif untuk menghadirkan lansekap luar sekaligus menjamin sirkulasi udara. (Foto: VOA/Nurhadi)
Joglo atau limasan terbuka adaptif untuk menghadirkan lansekap luar sekaligus menjamin sirkulasi udara. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Kebiasaan yang lazim diterapkan pada satu tempat, tiba-tiba bisa muncul lalu dalam masa berikutnya, akan mengalami transformasi,” lanjut Revianto.

Dinamisnya arsitektur rumah Jawa, tidak hanya terjadi di kalangan rakyat. Di rumah raja, seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, perubahan juga tidak dapat dibendung.

“Kalau kita melihat Gedong Jene, kediaman pribadi Sultan, di depan memang limasan, tetapi di belakang limasan itu atap plat beton yang ada skylight-nya. Ternyata juga kontemporer,” tambah pakar arsitektur bangunan tradisional ini.

Tidak hanya di masa kini, adaptasi terkait arsitektur bangunan sudah diterapkan sejak lama. Salah satu sebabnya, kata Revianto, raja memiliki akses ke sumber-sumber yang rakyat biasa tidak memilikinya.

“Sehingga misalnya Pendopo Agung Mangkunegaran, itu kanopinya impor dari Jerman. Kalau kita ke pesareannya (makam-red) Mangkunegoro IV, itu bahkan diimpor sepenuhnya, satu gedung itu besi didatangkan ke Jawa. Sehingga Jawa sendiri adalah sentra yang sangat dinamis,” kata Revianto.

Rumah Tak Sekedar Fisik

Salah satu arsitek yang dikenal dinamis dalam melakukan adaptasi arsitektur rumah Jawa adalah Eko Agus Prawoto IAI. Rancangannya berserak mulai dari rumah seniman, resto, galeri seni, hingga vihara.

Eko berpedoman, rumah bukan tidak hanya bernilai fisik. Dia melihat gagasan atau nilai-nilai non-fisik lah yang kemudian terwujud secara fisk. Mengapresiasi rumah Jawa adalah mengapresiasi nilai-nilai universal di dalamnya.

Vihara Donomulyo karya Eko Agus Prawoto yang mengadaptasi bangunan Jawa. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)
Vihara Donomulyo karya Eko Agus Prawoto yang mengadaptasi bangunan Jawa. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)

“Misalnya kedekatan dengan alam, relasi antar manusia, relasi sosial, juga nilai-nilai spiritual, dan juga sikap tidak serakah, berbagi dan seterusnya. Itu bagian dari software yang termanifes dalam hardware-nya,” kata Eko dalam diskusi yang sama.

Jika melestarikan rumah Jawa hanya bertumpu pada bentuknya saja, diibaratkan Eko seperti seperti melihat rumah Jawa sebagai artefak saja. Seperti melihat cangkang, tanpa melihat nilai di filosofisnya yang lebih penting.

Ketika saat ini tren open plan dianggap kontemporer, kata Eko, sebetulnya rumah Jawa telah lama menerapkan itu. Di pedesaan, rumah limasan dibuat dengan sedikit sekat, sehingga tempat untuk tidur, menerima tamu dan tempat menyimpan hasil panen menjadi satu. Begitu pula dengan dapur besar, yang dilengkapi amben bambu, di mana proses menyiapkan masakan dan mengobrol dengan tamu, bisa dilakukan bersama-sama. Dapur juga menjadi gudang logistik, menerima tamu, bekerja dan mengandangkan ayam.

“Saya kita yang penting adalah nilai nilai itu. Bukan fisiknya. Fisik bisa berganti, bisa berubah. Tetapi menurut saya, nilai yang berawal dari masyarakat agraris, kedekatan dengan alam dan kebiasaan kehidupan kolektif, berbagi, pengetahuan bagaimana hidup harmonis dengan alam,” tambah Eko.

Dapur dalam bangunan Jawa yang luas sekaligus fungsional. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)
Dapur dalam bangunan Jawa yang luas sekaligus fungsional. (Foto: Courtesy/Eko Agus P)

Panduan Perubahan Tersedia

Pakar budaya Jawa Yuwono Sri Suwito secara mendalam mengupas filosofi bangunan Jawa termasuk bagian-bagian pentingnya. Namun, di luar semua pakem yang ada, dia mengaku setiap hal bisa berubah.

“Semua itu bisa berkembang. Maka, kami di Dinas Kebudayaan DIY, menerbitkan aturan bahwa ada istilah Lestari Asri, ada istilah Selaras Sosok, kemudian ada istilah Selaras Parsial,” kata Yuwono.

Istilah-istilah itu dijelaskan pada Peraturan Gubernur DIY No. 40 tahun 2014. Lestari Asli adalah pola arsitektur yang menampilkan bentuk arsitektur bangunan yang sama dengan bentuk arsitektur ketika diciptakan. Selaras Sosok adalah pola arsitektur yang menyerap gaya masa tertentu, dari bentuk lestari asli, dan diaplikasikan pada penampilan bangunan secara garis besar tanpa detail rinci. Sedangkan Selaras Parsial adalah pola arsitektur yang sebagian komponennya mengadopsi salah satu atau lebih komponen bangunan dari suatu gaya arsitektur.

“Ini untuk mewadahi, supaya kita tidak dikira membelenggu kreativitas para arsitek,” tambah Yuwono.

Contoh ornamen Awisan di yang tidak boleh diterapkan di bangunan luas Keraton. (Foto: Courtesy/Yuwono Sri Suwito)
Contoh ornamen Awisan di yang tidak boleh diterapkan di bangunan luas Keraton. (Foto: Courtesy/Yuwono Sri Suwito)

Meski begitu, tetap ada kaidah-kaidah dalam arsitektur Jawa yang harus ditaati. Yuwono memberi contoh, misalnya sejumlah ornamen bangunan yang hanya boleh ada di Keraton, dan tidak boleh diterapkan di bangunan lain. Jenis ornamen ini disebut sebagai ornamen Awisan.

“Kalau tidak ada regulasi seperti itu, nanti kita tidak mem-preservasi dan mengkonservasi apa yang kita miliki, supaya itu tetap lestari,” tandasnya.

Pelestarian Tetap Dilakukan

Upaya pelestarian arsitektur rumah Jawa dilakukan oleh banyak pihak, sesuai dengan selera dan tujuan pribadinya. Salah satunya oleh Satria Ardhi Nugraha, pemilik rumah makan Ndalem Nampan, di Nomporejo, Kulonprogo. Menurut Satria dia sengaja memilih bangunan baru berarsitektur Jawa, salah satunya dengan alasan ikut melestarikan.

“Intinya ingin ikut nguri-uri budaya leluhur, siapa lagi yang akan membuatnya kalau bukan kita sendiri, masyarakat Jawa. Selain itu, ada juga konsumen yang memang suka dengan gaya tempat makan etnik semacam ini,” ujarnya kepada VOA.

Masjid Soko Tunggal di Tamansari, Yogyakarta dengan gaya arsitektur Jawa. (Foto: Courtesy/Yuwono Sri S)
Masjid Soko Tunggal di Tamansari, Yogyakarta dengan gaya arsitektur Jawa. (Foto: Courtesy/Yuwono Sri S)

Satu joglo dan satu limasan dibangun di tanah tepi desa, dengan pemandangan persawahan yang tak jauh dari destinasi wisata Pantai Trisik. Kedua bangunan itu diyakini Satria, sesuai dengan lansekap pedesaan dimana rumah makan berdiri.

Selain pelestarian dengan mendirikan bangunan baru, upaya ini juga dilakukan dengan menjaga bangunan lama. Salah satunya dilakukan Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebuah kompleks bangunan di Kotagede dibeli oleh UGM setelah rusak akibat gempa 2006.

“Setelah dibeli proses renovasi didukung di antaranya oleh JICA, Total Indonesie, Exxon Mobil Oil, dan individual donor,” kata dosen Arsitektur UGM, Dr Laretna Trisnantari Adishakti.

Omah UGM di Kotagede, Yogyakarta sebagai wujud peran serta pelestarian terhadap arsitektur Jawa. (Foto: Courtesy/Humas UGM)
Omah UGM di Kotagede, Yogyakarta sebagai wujud peran serta pelestarian terhadap arsitektur Jawa. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

Bangunan ini memiliki tata ruang khas rumah Jawa. Ada pendopo, bangunan tanpa dinding yang biasa digunakan untuk pertemuan, bangunan induk yang dinamakan dalem, dan pringgitan atau penghubung antara pendopo dan rumah dalem. Terdapat pula senthong atau kamar, serta gandhok yang terletak di sisi kanan dan kiri rumah. Menurut dosen yang akrab dipanggil Sita ini, dinding dalem bangunan ini sangat khas karena terbuat dari kayu, bukan tembok bata.

“Kondisi yang sudah langka di Kawasan Pusaka Kotagede,” tambahnya.

Rumah berusia hampir 200 tahun yang kini menjadi Omah UGM dan ditransformasi menjadi pusat gerakan pelestarian budaya dan pusat pelatihan mitigasi bencana pada cagar budaya. Omah UGM digunakan untuk aktivitas perkuliahan dan penelitian Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM. [ns/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG