Pengadilan Tinggi Jawa Barat menjatuhkan vonis tersebut kepada PA, 3 Juni 2020, dengan Pasal 8 juncto Pasal 34 UU Pornografi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Putusan tingkat kedua ini menguatkan putusan sebelumnya di Pengadilan Negeri Garut.
Namun, menurut Sri Mulyati dari Jaringan Solidaritas untuk Keadilan Perempuan, PA sebenarnya adalah korban paksaan dan intimidasi suaminya sendiri. Suami dengan inisial R itulah yang memaksa PA menjadi model video bersama 2 laki-laki lain, W dan D.
"Jadi ketika PA menolak untuk berhubungan seksual dgn laki-laki lain, sering kali suaminya kemudian mengancam untuk melakukan kekerasan terhadap PA, baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual. Selain itu, PA juga dipaksa tidak akan dinafkahi apabila dia menolak untuk bersedia divideokan," tandasnya kepada VOA.
Selain memaksa PA, R bahkan mempublikasikan video tersebut di media sosial hingga mengundang perhatian masyarakat. Polisi pun menangkap keempatnya, namun kasus terhadap R dihentikan karena tak lama kemudian ia meninggal dunia.
Majelis Hakim Tak Pertimbangkan Latar Belakang PA
Sri menjelaskan, R menikahi PA secara siri saat perempuan itu masih berusia 16 tahun. PA bahkan diduga kuat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang dengan kedok ikatan perkawinan.
PA pernah mengadukan KDRT ke polisi namun ditolak karena dianggap tidak cukup bukti.
Berbagai permasalahan itu luput dari pertimbangan majelis hakim, yang nampak hanya fokus pada konten pornografi saja. "Jadi hakim hanya melihatnya sebagai semata-semata kasus penyebarluasan video pornografi tanpa melihat fakta-fakta yang lainnya PA sebagai korban KDRT yang mengalami diskriminasi, ungkap Sri.
Bahkan, PA mendapat tuntutan lebih tinggi dari dua laki-laki dalam video tersebut. "PA yang seharusnya dia jadi korban dari konten pornografi, itu malah dihukum lebih berat dibanding pelaku pornografi yang lainnya, imbuhnya.
Atas vonis tersebut, jaksa menyatakan kurang puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara sebuah petisi di Change.org untuk membebaskan PA telah ditandatangani 10.490 orang.
Komnas Perempuan: Perempuan Selalu Jadi Korban Pornografi
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menilai vonis tersebut tidak menggunakan perspektif gender dan perspektif korban. Akibatnya, penegak hukum hanya fokus pada konten pornografi.
"Kalau pornografi kan media, jadi yang dilihat kan ketelanjanganya, ekspresinya, dia sebagai subjek media pornografi di situ, Jadi konteks kehidupan sebenarnya jadi sulit dipahami oleh hakim. Menurut saya seharusnya nggak begitu ya. Keadilan itu harus melihat semua aspek kan, pungkasnya kepada VOA.
Mariana juga mengkritik penggunaan UU Pornografi yang sering diskriminatif terhadap perempuan. Jika ada konten pornografi dilakukan seorang perempuan dan laki-laki, hampir dipastikan perempuan yang masuk penjara, sementara laki-laki bisa lepas dengan mudah.
"(Laki-laki) nggak kena ya, (karena wajahnya) nggak muncul. Dan yang kedua (laki-laki) dianggap tidak membangkitkan gairah seksual. Jadi itu sudah otomatis perempuannya, pasti otomatis. Itu kan yang pegang kamera laki-lakinya, atau laki-lakinya cuma kelihatan tangan aja, muka semuanya seluruh tubuhnya pasti perempuan," imbuhnya.
Kasus seperti ini, tambah Mariana, banyak ditemukan dan menimpa perempuan muda.
"Dia dinikahi, ternyata dia dimanfaatkan untuk tujuan komersial dengan menggunakan media pornografi," ungkap Mariana.
Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Mariana mendesak, majelis hakim yang memutus perempuan berhadapan dengan hukum dapat melihat persoalan secara lebih luas. Antara lain dengan mempertimbangkan KDRT atau kekerasan seksual yang mungkin dialami.
“Harapan saya, mereka memahami persoalan-persoalan personal yang sering membuat perempuan rentan mengalami kekerasan. Dan jangan menghakimi dulu sebelum kita tahun persis apa yang dilakukan oleh perempuan,” tegasnya.
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya meroket 300 persen. Pada 2018, tercatat ada 97 kasus, naik signifikan menjadi 281 kasus pada 2019. Kasus terbanyak adalah ancaman penyebaran foto atau video porno. Sementara pelakunya biasanya adalah orang terdekat seperti pasangan. [rt/em]