Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan lembaganya ingin mengetahui perkembangan persoalan yang terjadi antara Indonesia dan China di perairan Natuna. Karena itu, kata dia, DPR akan memanggil sejumlah kementerian dan lembaga terkait persoalan ini pada Kamis, 16 Januari 2019.
Selain itu, DPR ingin menggali apakah ada atau tidak niat lain China yang dapat membahayakan kedaulatan, di samping soal pencurian ikan yang melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
"Yang kita khawatirkan China itu hanya membuat cover bahwa itu nelayan. Tapi boleh jadi kepentingan China selain ikan juga sumber daya yang di bawah laut, sehingga kita perlu memastikan mereka tidak melakukan aktivitas ilegal, yang juga bukan hanya melanggar wilayah kita, tapi juga membahayakan kedaulatan kita secara umum," jelas Sukamta di Jakarta, Senin (13/1).
Sukamta menambahkan, secara umum suara DPR menginginkan pemerintah tidak kompromi terhadap pelanggaran yang dilakukan China atas ZEE di Natuna Utara, Kepulauan Riau.
Menurutnya, DPR juga tidak ingin kebijakan pengamanan laut yang dilakukan sejumlah kementerian dan lembaga tumpang tindih. Semisal antara TNI Angkatan Laut, Bakamla, Polri, dan Kementerian Kelautan. Sebab, kata dia, saat ini ada 24 undang-undang dan dua peraturan pemerintah yang membahas pengamanan laut yang menyebabkan tumpang tindihnya kewenangan. Ia berharap pemerintah dapat menunjuk satu lembaga untuk menjadi leading sector dalam persoalan ini sehingga penanganan menjadi maksimal.
"Berikutnya adalah soal penguatan. Kalau misalkan Bakamla yang ditugasi, tentu kita berharap Bakamla diperkuat. Ini masalah kita, Bakamla ini selain tidak jelas penugasannya, kantor dan armadanya juga tidak jelas," tambah Sukamta.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Damos Dumoli Agusman tidak mau berkomentar terkait perkembangan perselisihan dengan China di perairan Natuna, termasuk jawaban atas nota protes kepada China akhir Desember lalu. Ia hanya membolehkan wartawan mengutip pernyataan yang ia sampaikan melalui Twitter.
Dalam akun Twitter pada 4 Janauri 2020, Damos menilai keliru sejumlah pihak yang berpendapat nota protes kepada China tidak bermanfaat. Menurutnya, nota protes tersebut dapat menjadi bukti konsistensi sikap Indonesia atas klaim China, sekaligus menghalangi klaim China menjadi norma yang mengikat Indonesia pada masa mendatang.
"Negara yang melakukan protes sedang menggunakan hak hukumnya untuk bersikap ‘persistent objection” terhadap klaim negara lain. Dengan menggunakan hak ini, maka Indonesia tidak akn terikat pada klaim itu, dan menghalangi klaim ini menjadi embryo dan terkonsolidasi menjadi norma," tulis Damos dalam Twitter.
"Jika Indonesia tidak menggunakan hak protesnya, karena pesimis tidak mengubah realitas, maka klaim itu bisa terkonsolidasi dan menjadi norma yang mengikat Indonesia di kemudian hari. Dalam hukum internasional ini disebut ‘acquiescence”, atau pengakuan diam-diam. Lebih berbahaya bukan?"
Sementara itu Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyarankan pemerintah meneruskan kebijakan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia seperti era Menteri Kelautan Pudji Astuti. Itu, menurutnya, perlu dilakukan supaya pemerintah tetap mendapat dukungan rakyat Indonesia dalam persoalan perairan Natuna.
Apalagi, kata Hikmahanto, persoalan ini tidak akan selesai karena masing-masing negara akan bersikukuh dengan sikap masing-masing. Indonesia berpegang pada United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang menyatakan perairan di Natuna yang sekarang bermasalah masuk dalam ZEE Indonesia, sedangkan China berpatokan pada Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus sebagai klaim mereka.
"Kalau pemerintah China terus-terusan seperti ini, tarik ulur-tarik ulur. Menurut saya, teruskan saja kebijakan Bu Susi untuk melakukan penenggelaman kapal. Pura-pura kita tidak tahu bahwa ada sembilan garis putus. Pasti pemerintah China akan protes, tapi selama begini ya teruskan saja," ujar Hikmahanto.
Kendati demikian, kata Hikmahanto, pemerintah tetap menempuh jalur diplomasi untuk menghadapi persoalan dengan China di perairan Natuna. Salah satunya dengan diplomasi pintu belakang melalui tokoh-tokoh Indonesia dengan tokoh-tokoh China untuk tetap mencairkan persoalan.
Hikmahanto juga setuju dengan kebijakan pemerintah yang mengundang pemodal asing seperti Jepang dan Amerika Serikat untuk berinvestasi di Natuna. Ini untuk menunjukkan kehadiran pemerintah Indonesia hadir di perairan Natuna untuk menolak klaim China. (sm/ka)