Semakin jauh dari kekerasan dan kekacauan yang dibuat oleh kelompok militan Negara Islam (ISIS), semakin mungkin seseorang memiliki pandangan positif atas kelompok tersebut dan menyebarkannya di media sosial, menurut sebuah studi baru.
Efektivitas ISIS dalam mempengaruhi orang-orang membuat khawatir para ahli anti-terorisme, yang takut para pengikut ISIS mungkin terlibat dalam serangan-serangan, baik bersama kelompok militan tersebut atau aksi terorisme sendiri yang dilakukan atas nama kelompok tersebut.
Pihak berwenang AS baru-baru ini mengeluarkan peringatan atas serangan potensial melawan pasukan AS di tanah Amerika.
Para peneliti di University of Milan menganalisis lebih dari dua juta konten media sosial dari Juli sampai Oktober dan mereka menemukan bahwa sentimen terhadap ISIS lebih kuat di Eropa dan Amerika Serikat dibandingkan di Suriah dan Irak di antara konten-konten berbahasa Arab di situs-situs media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Di Suriah, kelompok tersebut digambarkan dalam kesan positif pada hanya 8 persen konten, sementara di Irak 19,7 persen, menurut laporan yang dikeluarkan oleh lembaga baru “Voices of the Blogs,” yang beranggotakan peneliti-peneliti Italia.
Sebaliknya, dukungan untuk ISIS di negara-negara Eropa jauh lebih tinggi, dengan 31 persen di Belgia, 24 persen di Inggris dan 20,8 persen di Perancis.
Negara-negara dengan tingkat dukungan media sosial tertinggi untuk ISIS adalah Qatar, 47 persen dan Pakistan, 35 persen.
Di AS, dukungan untuk ISIS di antara poster-poster berbahasa Arab di Facebook dan Twitter adalah 21,4 persen, menurut studi tersebut.
"Mereka yang mengalami perang, yang terancam dan menghadapi bahaya akan memiliki pendapat berbeda terhadap organisasi teroris," ujar Erin Saltman dari Yayasan Quilliam di London, sebuah lembaga pemikiran kontra-terorisme.
"Sementara semakin jauh dari kekerasan, semakin mudah orang-orang bersimpati dengan propaganda dan teologi, bahwa hasil akhir menjustifikasi cara."
Alasan-alasan utama untuk mendukung ISIS termasuk "membela Islam" (35,7 persen), "penyebaran agama" (26,2 persen) dan "pembangunan negara" (17,4 persen). Bahwa ISIS adalah reaksi melawan Barat hanya dikutip oleh 8,3 persen konten media sosial.
Mereka yang kritis terhadap ISIS beralasan bahwa kelompok itu "menggunakan agama untuk tujuan politik" (32,8 persen), kekerasan (28,9 persen) dan "melawan kebebasan (termasuk kebebasan agama)" (17 persen).
Tiga perempat konten yang dianalisa dibuat oleh pria, menurut penelitian tersebut.
Tim peneliti Italia tersebut mengatakan metode-metode mereka memiliki tingkat akurasi 95-98 persen.