Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan aktivitas ekonomi masyarakat pada kuartal I 2022 telah pulih. Pertumbuhan ekonomi nasional cukup tinggi, atau mencapai 5,01 persen secara tahunan, kendati mengalami kontraksi 0,96 persen pada kuartal IV 2021.
Menurut Margo, distribusi pertumbuhan tersebut ditopang dari sejumlah lapangan usaha mulai dari industri pengolahan, perdagangan, pertanian, hingga pertambangan. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), dan ekspor. Konsumsi pemerintah sendiri tercatat minus 7,74 persen.
"Faktor lain juga karena ada low base effect pada kuartal I 2021, karena kita tahu bahwa ekonomi Indonesia saat itu mengalami kontraksi 0,70 persen," jelas Margo Yuwono secara daring, pada Senin (9/5/2022).
Margo Yuwono menjelaskan kondisi lapangan usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2022 sudah kembali seperti sebelum pandemi COVID-19. Tidak jauh berbeda, dari sisi pengeluaran, masyarakat juga sudah mulai mengonsumsi kebutuhan tersier seperti hotel, angkutan, dan restoran pada kuartal I 2022.
"Polanya memiliki kemiripan kondisi sebelum krisis. Menunjukkan bahwa seluruh komponen pengeluaran sudah mulai tumbuh positif, kondisinya sama dengan triwulan I 2019," tambahnya.
Dari sisi wilayah, BPS mencatat struktur perekonomian Indonesia masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 57,78 persen. Baru kemudian disusul kelompok provinsi di Sumatera 21,96 persen dan kelompok provinsi di Kalimantan 8,29 persen.
Sejumlah mitra dagang Indonesia juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal I 2022 China, contohnya, tumbuh 4,8 persen, sementara Amerika Serikat 3,6 persen, dan Uni Eropa 5,2 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meminta pemerintah tidak terlena dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022. Sebab, kata dia, ada faktor lain yaitu keberuntungan, yang membuat ekonomi tumbuh seperti permintaan batu bara dan minyak sawit yang naik di pasar internasional. Keberuntungan tersebut, menurutnya, dapat menghambat pemulihan ekonomi jika tidak dikelola dengan baik.
"Boom harga komoditas memang berikan surplus neraca dagang tapi kalau tidak diantisipasi harga komoditas yang naik akan berimbas ke inflasi pangan maupun energi," jelas Bhima ke VOA, Senin (9/5/2022).
Bhima juga menyoroti kenaikan suku bunga secara global yang akan mendorong perbankan untuk menyesuaikan bunga pinjaman. Selain itu, kenaikan biaya dana atau cost of funds akan semakin menekan modal kerja pengusaha maupun pinjaman konsumsi.
Belum lagi, kata dia, invansi Rusia ke Ukraina yang berkepanjangan dan penutupan wilayah (lockdown) di China dikhawatirkan akan mengganggu rantai pasokan beberapa kebutuhan impor industri di Tanah Air.
"Belum tentu pertumbuhan 5 persen akan berjalan terus pada kuartal berikutnya. Yang lebih penting sebenarnya kualitas pertumbuhan harus dioptimalkan yakni daya ungkit ekonomi terhadap serapan kerja," tambahnya. [sm/ab]