Kalimantan Timur adalah gambaran sepak-terjang dinasti politik di sejumlah daerah dalam beberapa tahun terakhir. Di Kabupaten Kutai Timur, Kota Bontang dan Kabupaten Paser, kasusnya menarik karena bupati dan ketua DPRD –dua posisi yang berseberangan– dijabat oleh pasangan suami-istri atau orang tua dan anak. Kekayaan sumber daya alam di provinsi tersebut mendorong keluarga-keluarga itu untuk melanggengkan kekuasaan turun-temurun, bahkan menguasai sisi eksekutif dan legislatif.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Hania Rahma menyebut, sejumlah keluarga politisi membangun dinasti di Kalimantan Timur untuk mengamankan akses mereka terhadap kekayaan alam. Penilaian itu dia berikan dalam diskusi daring “Dinasti Politik dan Tata Kelola SDA di Kalimantan Timur,” Kamis (27/8). Diskusi diselenggarakan lembaga Auriga, Pusat Edukasi Antikorupsi KPK dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI), Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
“Saya melihat, bahwa ketika para penguasa ini memaknai kekuasaan sebagai memiliki akses yang sangat luas terhadap sumber daya alam, terhadap rente yang ada dalam sumber daya alam (SDA), maka para penguasa itu dan politisi akan bersedia membayar atau mengeluarkan uang dalam jumlah besar pada saat sekarang, agar mereka berada di dalam kekuasaan atau paling tidak masih ada di lingkaran kekusaan di masa depan,” kata Hania.
Jika kekuasaan politik mereka langgeng, lanjut Hania, akses terhadap sumber daya alam juga akan terjaga. Karena itu, mereka akan berupaya mempertahankan dinasti politik selama mungkin, meski harus menggunakan politik uang. Mengamankan kekuasaan atas SDA sama maknanya dengan mengamankan sumber uang mereka.
Kutukan Sumber Daya Alam
Hania mengatakan, jika tren dinasti politik terjadi, ‘Dutch Disease’ akan terjangkit di daerah seperti Kalimantan Timur. ‘Dutch Disease’ adalah situasi ketika sektor SDA berkembang pesat hingga komoditas lain tidak mampu berkompetisi. Investasi di luar tambang akan turun begitu juga dengan sektor ekonomi.
‘Dutch Disease’, imbuh Hania, mendorong sektor tambang untuk tumbuh, tetapi mengorbankan sektor lain, padahal sektor lain juga berpotensi maju seperti industri dan UMKM.
Selain itu, karena hasil tambang yang besar, ekonomi wilayah ditopang sepenuhnya oleh sektor ini. Sektor-sektor lain tidak mampu menyaingi sumbangan tambang. Kalimantan Timur, misalnya, menggantungkan hampir 47 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sumber daya alam.
“Bagaimana Kalimantan Timur bisa mempersiapkan sektor lain untuk tumbuh, untuk mempersiapkan daerahnya ketika SDA makin menipis? Apa yang disisakan untuk generasi ke depan? Apa yang disisakan untuk mampu menciptakan kesejahteraan, kalau tidak disiapkan dari sekarang sektor lain untuk pengganti SDA,” papar Hania.
Kondisi tersebut adalah apa yang dipahami secara umum sebagai kutukan kekayaan sumber daya alam. Tidak otomatis daerah yang kaya SDA alam mengalami kutukan. Nasib buruk ini hanya terjadi pada daerah-daerah dimana pemerintahnya tidak mampu memanfaatkan potensi alam yang ada untuk menciptakan kesejahteraan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Balikpapan, M Nasir mengatakan, dulu ada fenomena menjelang Pilkada, yaitu obral perizinan di tingkat kabupaten. Kini, kewenangan itu telah ditarik ke provinsi.
“Izin-izin juga ini menjadi semacam kompensasi bagi mereka yang masuk ke dalam tim sukses, khususnya yang menyokong modal bagi calon kepala daerah atau petahana yang mencalonkan kembali, lalu izin ini juga menjadi semacam pintu bagi pola-pola korupsi,” kata Nasir.
Izin semacam itu memberi peluang bagi pemiliknya untuk mengontrol kegiatan dan memastikan alokasi ruang bagi mereka. Namun, sebagai konsekuensi, pola-pola pemberian izin semacam ini memicu kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, skema izin ini juga memicu konflik lahan dan lingkungan hidup.
Tujuh Dinasti di Kaltim
Secara nasional, hingga 2014 terdapat 61 daerah di Indonesia yang dikuasai politik dinasti. Jumlah itu melonjak tajam saat ini, menurut perhitungan Herdiansyah Hamzah, pegiat antikorupsi dari SAKSI, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
“Sejauh ini, sampai sekarang ada 117 daerah atau sekitar 21 persen dari jumlah daerah otonom di Indonesia itu menerapkan dinasti politik atau pendekatan politik dinasti,” kata Herdiansyah.
Di Kalimantan Timur sendiri ada 7 dinasti politik yang tersebar di sejumlah wilayah. Kasus terakhir yang mengejutkan adalah penangkapan Bupati Kutai Timur, Ismunandar dan istirnya Encek UR Firgasih. Encek sendiri menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur, yang secara kelembagaan bertugas mengawasi bupati, yang juga suaminya sendiri. Keduanya ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap.
Sebelum ini, kasus korupsi juga terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara yang menurut Herdiansyah, erat kaitannya dengan tata kelola sumber daya alam.
“Karena berhubungan dengan izin perkebunan sawit, yang dikeluarkan mantan Bupati Kutai Kartanegara saat itu, yang juga sekaligus anak dari Syaukani Hasan Rais, yang sebelumnya sempat terlibat beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK,” kata Herdiansyah.
Mantan bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada September 2017. Rita adalah anak kedua Syaukani Hasan Rais, dan meneruskan kekuasaan setelah ayahnya dijerat kasus korupsi pada 2006.
Herdiansyah mengklasifikasikan tiga bentuk dinasti politik yang dibangun, di Kalimantan Timur. Jenis pertama adalah dinasti politik yang dibangun berdasarkan jabatan dalam satu jenis lembaga, tetapi dalam tingkat berbeda. Ada anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota yang berasal dari satu keluarga.
Yang kedua adalah anggota keluarga yang sama duduk di lembaga berbeda dan wilayah berbeda tingkatan, misalnya, satu menjadi bupati di kabupaten tertentu dan saudaranya duduk sebagai politisi di DPR RI, DPD, atau DPRD di kabupaten berbeda.
Jenis ketiga adalah mereka memiliki jabatan dalam satu wilayah dalam lembaga yang berbeda. Misalnya, ayah menjadi bupati dan anak menjabat ketua DPRD atau suami-istri dalam posisi sama.
Di Bontang bahkan kasusnya cukup unik. Ketika Sofyan Hasdam mejadi wali kota, Ketua DPRD Kota Bontang dijabat istrinya, yaitu Neni Moerniaeni. Setelah Neni menjadi Wali Kota Bontang, jabatan Ketua DPRD di kota itu saat ini dipegang putranya, Andi Faisal Sofyan Hasdam. Keluarga ini mewarnai politik Kota Bontang selama belasan tahun.
Haris Retno Sumiyati, pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman melihat kondisi ini terkait dengan sistem politik. Selama sistemnya masih sentralistik dan terbuka ruang penggunaan politik uang, dinasti politik akan terus terjadi.
“Setiap Pemilu, ada istilahnya kalau di praktiknya, ada paket hemat. Paket hemat, jadi amplopnya satu, yang dipilih untuk pemilihan DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau kota, itu berkeluarga. Sistem paket hemat,” kata Retno.
Dalam pelaksanaan Pilkada, skema semacam itu juga dipraktikkan sama. Tanpa perubahan sistem politik, kata Retno, apa yang saat ini terjadi akan terus dipraktikkan oleh para politisi. [ns/ft]