Persaingan negara-negara pengekspor minyak dan gas di Timur Tengah, dan tentunya sekutu mereka, telah memperburuk ketegangan yang terjadi di seluruh kawasan itu. Beberapa proyek jalur pipa di sepanjang Levant juga menjadi faktor penentu yang ikut mengganggu kelancaran jalur pipa yang sudah tidak stabil di kawasan itu.
Qatar dan Iran sama-sama memiliki ladang gas terbesar di Timur Tengah dan keduanya secara aktif berupaya mengekspor gas itu ke kawasan tersebut, juga ke Eropa, Asia dan kawasan lain. Beberapa pakar mengatakan kekayaan kedua negara itu bisa memicu konflik laten di negara-negara lain, seperti Irak dan Suriah.
Campur Tangan Rusia di Suriah Terkait Kompetisi Eksplorasi?
Presiden Rusia Vladimir Putin – yang merupakan salah satu pemasok gas terbesar di Eropa – ikut campur tangan di Suriah pada September 2015, seolah-olah untuk mempertahankan keberadaan rejim Presiden Bashar Al-Assad, tetapi sangat mungkin hal ini merupakan bagian dari strategi untuk mencegah negara-negara lain di kawasan dan dunia mengambil keuntungan dari lokasi Suriah yang strategis.
Putin mengatakan pada negara-negara Barat untuk mempertimbangkan keberadaan Rusia disana ketika mengambil tindakan, dan bersikeras bahwa perbedaan pandangan diantara mereka akan berakhir. Anda harus mempertimbangkan dan menghargai kepentingan pihak lain, demikian peringatan Putin.
Qatar dan Iran Sama-Sama Punya Ladang Minyak Terbesar di Dunia
Qatar adalah sekutu Barat, sementara Iran menjadi sekutu Rusia. Keduanya sama-sama menguasai ladang gas terbesar yang pernah diketahui di dunia.
Ladang gas ‘’North Dome’’ milik Qatar dan ladang gas ‘’South Pars’’ milik Iran, yang terletak saling berdampingan, pertama kali ditemukan oleh perusahaan minyak Shell tahun 1974. Dalam sebuah forum energi negara-negara Teluk, mantan Menteri Energi Qatar Abdallah Al-Attiyah mengatakan baik Qatar maupun Shell sama-sama gembira dengan penemuan itu, dan sejak saat itu keduanya bekerjasama untuk menemukan sumber minyak, terlebih karena ladang-ladang itu tidak mudah digarap. Ia mengatakan Shell memutuskan untuk segera menggarap ladang itu, sementara Qatar baru memutuskan mengeksplorasi ladang minyak itu beberapa tahun ini setelah perusahaan minyak dan gas Maersk mengambilalih proyek itu dan menggunakan teknologi canggih – termasuk dengan pengeboran horizontal – untuk mendapatkan gas dari lapisan-lapisan cadangan minyak yang tidak biasa.
Al-Attiyah mengatakan Qatar adalah negara yang memproduksi gas alam cair terbesar di dunia, dengan total 77 juta ton per tahun. Ditambahkannya, pasar Eropa sangat ingin membeli gas tersebut dan Qatar menyatakan siap mengekspor dan menjualnya ke Eropa – termasuk ke Spanyol, Italia, Inggris dan Polandia – dengan armada yang terdiri dari 55 kapal.
Iran Baru Mulai Eksplorasi ‘’South Pars” Tahun 1990an
Namun Iran – yang sempat dilanda konflik berkepanjangan selama delapan tahun dengan negara tetangganya Irak – menjadikan ekspor gas dan minyak sebagai skala prioritas yang tidak penting. Baru pada akhir tahun 1990an dan dimulainya era Presiden Mohamed Khatami, “South Pars” menjadi target eksploitasi. Proyek yang terdiri dari 25 tahap ini, secara perlahan-lahan dimulai, sempat maju mundur seiring pemberlakuan sanksi-sanksi internasional yang melumpuhkan sektor energi Iran.
Mantan presiden Iran yang juga pernah menjadi menteri keuangan – Abolhassan Bani Sadr – mengatakan pada VOA, Iran berbagi delapan ladang gas dan minyak miliknya dengan negara-negara Teluk lainnya, termasuk Qatar; yang menurutnya telah mengambil keuntungan dari Iran. Sadr menambahkan Qatar memproduksi minyak dua kali lebih besar dibanding Iran, meskipun kesenjangan diantara keduanya dulu lebih besar lagi. Negara-negara tetangga Iran tidak menghormati hak-hak Iran, ujar Sadr. Meskipun hubungan Iran dan Qatar tidak mulus, tetapi Sadr mengatakan keduanya bukan pesaing utama dalam memasarkan produknya ke pasar.
Sadr menjelaskan bahwa Qatar tidak perlu mengekspor gasnya lewat Suriah atau Irak karena akan lebih murah jika membangun jalur pipa lewat Arab Saudi. Sementara akan lebih menguntungkan bagi Iran jika menjual gas lewat Turki dibanding lewat Irak atau Suriah yang menelan biaya dua kali lipat.
Assad Indikasikan Bukan Tak Mungkin Proyek Pipa Gas Picu Perang Saudara di Suriah
Dalam lawatan ke Turki tahun 2009 atau beberapa tahun sebelum dimulainya konflik sektarian dan memburuknya hubungan dengan Turki, Presiden Suriah Bashar Al Assad berkeras bahwa Suriah akan menjadi tempat transit yang ideal bagi jalur pipa dari Teluk ke Laut Tengah.
Dalam wawancara tahun 2006, Assad mengklaim bahwa bukan tidak mungkin jika keberadaan proyek jalur pipa gas milik Iran dan Qatar ini memicu perang saudara di negaranya.
Hingga saat ini setiap pihak tampaknya belum bisa mengambil keuntungan, sementara negara-negara di kawasan dan pendukung mereka bertarung meraih posisi. Satu bagian jalur pipa gas Iran yang melewati Irak dilaporkan telah beberapa kali disabotase, dan faksi Kurdi dilaporkan bentrok di luar Kirkuk, di daerah dimana tadinya jalur pipa minyak akan dibangun.
Sementara itu ketika konflik berkecamuk di Irak dan Suriah, Presiden Amerika Donald Trump bertekad akan berupaya “mengakhiri perjanjian dari Rusia”, dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson – yang juga mantan CEO Exxon-Mobil – mengetahui peta energi di Levant dan penguasa di baliknya secara lebih baik dibanding diplomat-diplomat lain. [em]