Tautan-tautan Akses

ELSAM: Meski Jumlahnya Turun, Pembela HAM Lingkungan Tetap Rentan Ancaman


Seorang remaja perempuan mengenakan topeng penutup wajah (faceshield) bergambar "Bumi yang menangis" dalam aksi protes mengenai iklim di luar Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 27 November 2020. (Photo: REUTERS/Willy Kurniawan)
Seorang remaja perempuan mengenakan topeng penutup wajah (faceshield) bergambar "Bumi yang menangis" dalam aksi protes mengenai iklim di luar Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 27 November 2020. (Photo: REUTERS/Willy Kurniawan)

Secara kuantitatif terjadi penurunan jumlah ancaman dan serangan terhadap pembela HAM lingkungan sepanjang Mei sampai Agustus 2021. Tapi secara umum situasi dan tingkat kerentanan pembela HAM di bidang lingkungan tidak banyak mengalami perubahan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembela hak asasi manusia, termasuk yang memusatkan perhatian pada isu lingkungan, rentan mendapatkan ancaman dan serangan. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) sepanjang Mei-Agustus 2021 ini jumlah ancaman dan serangan itu menurun, tetapi secara umum situasi dan tingkat kerentanan pembela HAM di bidang lingkungan tidak banyak mengalami perubahan.

Dalam diskusi secara virtual di Jakarta hari Jumat (12/11) staf advokasi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Villarian Burhan mengatakan masalah klasik agraria menjadi prakondisi utama seluruh serangan terhadap pembela HAM di sektor lingkungan.

"Empat dari enam kasus yang muncul dalam periode ini memiliki satu benang merah yang berpangkal pada sengketa lahan antara warga dan perusahaan. Dua kasus lainnya terkait dengan pemberian izin pertambangan yang dinilai sepihak tanpa melibatkan partisipasi warga dan kasus berikutnya berkaitan dengan pencemaran lingkungan," kata Vallerian.

Seorang mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa pelanggaran HAM, korupsi dan tindakan sosial dan lingkungan, Jakarta, 28 Oktober 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Seorang mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa pelanggaran HAM, korupsi dan tindakan sosial dan lingkungan, Jakarta, 28 Oktober 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Ditambahkannya, selama Mei-Agustus 2021, ada enam kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela HAM di sektor lingkungan terjadi di lima provinsi yaitu Sumatera Barat (dua kasus) serta masing-masing satu kasus di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Jawa Tengah.

Keenam kasus tersebut, lanjut Villarian, terjadi di tiga sektor yakni agraria (empat kasus) serta masing-masing satu kasus di sektor pertambangan dan lingkungan.

Pada caturwulan atau empat bulan pertama tahun 2021 terjadi 22 kasus. Di caturwulan kedua naik menjadi 28 kasus, dan di caturwulan ketiga turun menjadi 10 kasus. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, jumlah kasus ancaman dan serangan di periode Mei-Agustus 2021 turun separuhnya; yaitu 10 tindakan kekerasan dan ancaman terhadap pembela HAM di bidang lingkungan yang mencakup serangan fisik (tiga kasus), penangkapan (tiga kasus), penahanan (satu kasus), pemerkaraan hukum (satu kasus) dan perampasan tanah (dua kasus).

Korbannya adalah 21 individu pembela HAM lingkungan termasuk 17 orang dari masyarakat adat dan satu petani. Pelakunya adalah empat polisi, empat perusahaan dan satu anggota satuan pengamanan (satpam) dalam perusahaan.

Perwakilan Masyarakat Adat Sampaikan Dampak Penebangan Hutan

Eva Junita Lumban Gaol, perwakilan dari masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria menceritakan bagaimana mereka mengalami dampak buruk akibat keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah adat mereka sejak 1992.

Dia menyebutkan hutan kemenyan yang menjadi sumber utama penghidupan milik masyarakat adat Pagamanan Bintang Maria kini diklaim sebagai wilayah konsesi PT TPL.

PT TPL masih satu grup dengan PT RAPP milik Sukanto Tanoto, salah seorang miliuner di Indonesia. PT TPL bergerak di bidang bubur kertas.

Eva menjelaskan tradisi dari leluhur masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria adalah pohon kemenyan harus hidup berdampingan pohon-pohon lain di sekelilingnya. Karena ditebangi secara serampangan oleh PT TPL, hasil panen kemenyan oleh masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria menurun.

"Yang tadinya kita bisa menghasilkan sampai 500 kilo, 300 kilo hasil kemenyannya per tahun, sekarang untuk mengambil 50 kilo pun orang yang punya banyak pohon kemenyan itu sudah susah," kata Eva.

Dampak lainnya adalah areal sawah milik masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria kini kesulitan mendapatkan air karena penebangan hutan alam di bagian hulu oleh PT TPL. Walhasil pasokan air mengecil, banyak sawah kekeringan dan mengalami gagal panen.

Eva menambahkan hutan gundul membuat babi-babi hutan turun dan melahap perkebunan jagung, singkong dan kacang milik masyarakat adat Pagamanan-Bintang Maria.

Komnas HAM Dorong Pembela HAM Tetap Semangat

Dalam diskusi tersebut, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amir Al Rahab berpesan agar para pembela HAM bersikap optimistis agar dapat terus bersemangat membela para korban pelanggaran HAM.

"Hak asasi manusia itu selalu adalah energi perjuangan karena masalah hak asasi manusia pasti selalu terjadi. Karena hubungan antar manusia berada dalam hubungan kekuasaan satu sama lain. Yang selalu menjadi korban yang tidak berkuasa," tutur Amir.

Berdasarkan catatan Komnas HAM persoalan agraria merupakan pengaduan yang paling banyak yang diterima oleh Komnas HAM. Konflik agraria ini kebanyakan sudah berlangsung lama.

Dia menambahkan sengketa lahan ini selalu melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang menguasai lahan dan kerap didukung oleh pemerintah daerah atau aparat penegak hukum dengan masyarakat. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG