Banjir informasi yang diterima masyarakat melalui media berbasis internet atau media sosial sering kali membawa dampak negatif karena banyak menimbulkan konflik. Kabar bohong, fitnah, maupun berita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, banyak beredar dan dipercaya sebagai suatu kebenaran.
Kondisi seperti ini menurut Staf Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, Kantor Staf Kepresidenan, Agustinus Eko Raharjo, merupakan fenomena yang meresahkan dan dapat mengancam persatuan bangsa bila tidak diantisipasi. Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertema Government Public Relations di Antara Lautan Hoax, di Kampus Universitas Airlangga Surabaya, Rabu (19/8).
Kabar bohong atau hoax yang beredar saat ini, banyak diproduksi oleh kelompok usia 20 hingga 30 tahun, dan ditujukan pada kelompok usia muda yang aktif di sosial media.
“Tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia, itu kebanyakan anak muda, mereka memfabrikasi isu, kalau kita belajar dari era Donald Trump melawan Hillary Clinton, hanya untuk mencari duit, mereka pekerja membuat akun sosmed, membuat blog-blog palsu dan kemudian di situ untuk menyebarkan, dan orang lain bisa membuat share, meretwit, melike dan segala macam. Mungkin sekitar (usia) 20 tahun sampai 30 tahun, atau mungkin kalau lebih, tidak lebih dari 35 tahun. Termasuk yang kemarin kena itu, ada yang namanya Saracen, MCA, sekali lagi itu bukan masalah agama, tapi kalau mereka sudah pakai kedok agama, sudah pakai apa-apa itu kan harus diwaspadai ya. Kita tidak pernah mendeskreditkan pelaku hoax itu dari kelompok agama tertentu, tetapi ya memang lebih kepada kontennya itu yang harus kita waspadai. Dan memang yang mudah terpapar juga teman-teman, anak-anak muda juga sasarannya, terutama yang aktivis sosial media,” ujar Agustinus.
Perang melawan hoax harus digelorakan di tengah masyarakat, agar tidak menjadi korban pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Agustinus Eko Raharjo mengatakan, masyarakat dapat bersama-sama melawan hoax dengan meningkatkan pengetahuan dan literasi media, dan tidak mudah menyebarkan informasi yang belum jelas kebenaran maupun sumbernya. Sumber-sumber informasi yang benar dapat dimunculkan sebagai pembanding beredarnya hoax di tengah masyarakat, sehingga hoax dapat diminimalisir penyebarannya terutama memasuki masa Pemilihan Presiden 2019.
“Harus ada sering-sering acara seperti ini, atau situs-situs atau portal-portal yang bisa membuat orang, saya ada hoax, saya harus lari ke sini, harus konfirmasi ke sini, tidak dibiasakan untuk menyebar berita yang menyebarkan ketakutan, jadi harus lebih itu, karena kalau tidak maka post-truth itu kita akan mudah dijejali. Hopefully not, semoga tidak, tetapi ketika 2019 kita Pilpres, kampanye kita akan sangat panjang mulai 23 September tahun ini (2018) sampai dengan 14 April(2019), semoga tidak seperti lima tahun lalu, orang begitu mudah menghancurkan pakai isu-isu yang kemudian sangat tidak bertanggung jawab, sangat personal,” tambahnya.
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga Surabaya, Lies Tianingsih mengatakan, beredarnya informasi hoax di tengah masyarakat dipengaruhi rendahnya literasi masyarakat atas informasi dan media. Selain itu, ada rasa bangga dan puas dari penerima informasi bila telah menyebarkan informasi itu untuk yang pertama kali kepada orang lain, meski kebenaran informasi itu masih dipertanyakan.
“Sebenarnya kan dalam komunikasi itu orang yang menerima informasi pertama itu sering kali kan merasa menjadi seseorang yang lebih berbeda dari yang lain, sehingga setiap kali menerima informasi apakah itu benar atau salah, dianggap bahwa dia orang pertama yang mempunyai informasi, dan akan merasa puas, bangga secara psikologis untuk menyebarkannya kepada orang lain. Nah sering kali informasi ini belum tentu benar, dia percaya begitu saja, bahkan barang kali tidak sempat memikirkan ini benar atau tidak untuk disebarkan ke yang lain. itu sebenarnya kalau dalam komunikasi ada rasa kebanggaan ketika dia mendapat informasi yang pertama,” tukas Lies.
Masyarakat khususnya generasi muda, kata Lies, hendaknya tidak mudah percaya dan terlebih dahulu memastikan kebenaran informasi yang diterimanya, sebelum menyebarkan kepada orang lain. Ada banyak piranti atau alat bantu untuk mengecek benar atau tidaknya informasi yang beredar di tengah masyarakat.
“Apakah gambar ini benar, atau meme itu benar atau tidak, kan kita bisa mengecek misalnya melalui google, oh iya ini di google kan ada kan cara untuk mengecek itu. Nah ini yang harus kita sampaikan ke teman-teman, terutama anak-anak muda itu bahwa jangan mudah percaya, cek dulu sebelum menyebarkan ke yang lain,” katanya.
Agustinus Eko Raharjo menambahkan, masyarakat harus memastikan informasi yang beredar adalah benar, untuk menekan penyebaran kabar hoax yang banyak diproduksi melalui berbagai media. Melalui upaya bersama melawan kabar hoax, diharapkan dapat menjadikan Indonesia semakin maju karena lebih mengedepankan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
“Apapun yang anda sebut sebagai jurnalisme warga, ada kompasiana, ada blog-blog apa, semua orang bisa nulis di situ, tapi kan datanya harus, jangan sampai kemudian yang penulis tidak jelas itu kemudian kita share, kita sebarkan. Pemerintah sangat concern untuk memberantas berita palsu, ini semua demi membuat kita bisa menjadi negara yang maju, negara yang semakin mengejar ketertinggalan dan layak disejajarkan dengan negara-negara maju yang lain, dan caranya adalah kita tidak harus memusingkan diri dengan urusan-urusan yang seperti ini terus,” pungkasnya. [pr/em]