Larung ogoh-ogoh dan Festival Pulang Kampung menandai peringatan sembilan tahun tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jumat (29/5).
Sekitar 200 warga penyintas menggelar di atas tanggul kolam penampungan lumpur di Porong, Sidoarjo, dengan membangun tiga deret rumah gubuk dari bambu di wilayah bekas Desa Siring tersebut, dan melakukan ritual kembali ke rumah sambil berjualan aneka makanan.
Selain itu warga juga menggelar doa bersama untuk arwah para leluhur, yang makamnya tenggelam di bawah tanggul lumpur Lapindo.
Rere Christanto selaku juru bicara aksi mengatakan, peringatan ini bertujuan untuk menunjukkan kembali hilangnya kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya warga penyintas, yang menjadi kerinduan warga untuk dihadirkan kembali melalui Festival Pulang Kampung.
“Sebagai penanda bahwa dulu di sini ada wilayah yang sebetulnya ramai, banyak kehidupan, ini kampung yang dulu ramai. Kemudian akibat semburan lumpur Lapindo kemudian mereka harus tercerai berai, tersebar ke mana-mana. Itu juga merusak sendi-sendi sodial mereka, kekerabatan, hubungan tetangga," ujarnya.
"Festival Pulang Kampung ini mengajak mereka untuk melihat kembali, sekali lagi setidaknya mereka bisa berkumpul saling bertemu dengan tetangga yang lama, menjalin ikatan sosial dulu yang ada.”
Umi Salami, penyintas asal Desa Siring, Kecamatan Porong menuturkan, peristiwa semburan lumpur Lapindo sembilan tahun lalu telah menghilangkan tidak hanya mata pencaharian dan ekonomi keluarga, namun juga membuat kehidupan keluarga para penyintas tidak menentu.
“Kalau dulu saya jualan kue-kue, sekarang itu ya sudah mati usahanya. Sekarang saya momong (mengasuh bayi). Dulu ngojek di sini. Suami saya (sekarang) yang ngojek, soalnya suami saya sekarang sudah tidak kerja, dulu satpam sini," ujarnya.
Umi bersama warga penyintas lainnya berharap pemerintah segera mempercepat pelunasan ganti rugi aset milik warga yang tenggelam oleh lumpur, yang selalu dijanjikan oleh Lapindo Brantas maupun pemerintah sejak awal lumpur panas menyembur.
“Harapan semua warga, ya ini makanya dibikin seperti ini biar orang yang di atas-atas itu biar tahu semua, biar tidak dicicil lagi karena sudah bosan. Sembilan tahun itu tidak sebentar, nunggu hanya (dijawab) iya, dikasih jarak jangka waktu. Ini saja sudah dua tahun tidak ada sama sekali cicilan. Saya hanya (dibayar) Rp 5 juta satu bulannya, cicilannya keluar 5 juta," ujarnya.
Munif, penyintas dari Desa Siring yang belum menerima sama sekali pembayaran ganti rugi rumah serta sawahnya berharap, pembayaran segera dituntaskan sebelum banyak penyintas yang meninggal dunia.
Selain Festival Pulang Kampung, warga penyintas bersama aktivis lingkungan juga mengarak serta melarung ke dalam lumpur ogoh-ogoh atau boneka berbentuk Aburizal Bakrie, yang dianggap sebagai orang paling bertanggungj awab atas kerusakan lingkungan di wilayah Porong.
Rere Christanto mengatakan, warga mendesak pemerintah dan negara memulihkan hak para penyintas lumpur Lapindo, selain memastikan pelunasan ganti rugi aset warga tidak lagi tertunda.