Ratusan warga Papua di kota Sorong ikut meramaikan “Festival Noken” yang berlangsung mulai tanggal 3-5 Desember 2017. Festival ini merupakan bagian dari peringatan “Hari Noken Sedunia” 4 Desember.
Noken atau tas rajut khas Papua yang terbuat dari kulit kayu, bunga anggrek, daun tikar, tali rami atau anyaman daun pandan; sejak tahun 2012 telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia bukan benda atau intangible heritage. Noken yang diproduksi oleh tangan mama-mama Papua ini diakui dunia karena keunikan dan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, dimana ia digambarkan sebagai “rahim perempuan yang memberi kehidupan.”
Tak heran jika Noken memiliki bentuk dan bahan berbeda, yang mewakili kekayaan hutan dan ragam kegunaannya. Noken Wamena misanya berbeda dengan Paniai, sementara noken Raja Ampat berbeda dengan Sorong.
Noken Punya Beragam Fungsi
Noken biasanya digunakan dengan cara disangkutkan di bagian kepala yang mengarah ke bagian punggung atau dada perempuan Papua, dan umumnya digunakan untuk mengangkut hasil kebun dan peternakan, wadah mas kawin maupun alat menggendong anak. Saat ini sebagian warga Papua bahkan menggunakannya untuk menyimpan atau membawa buku ke sekolah/kampus dan menghadiri pesta (pesta kelahiran, pernikahan, kematian dan pesta-pesta adat lain). Bagi suku Dani yang bermukim di pegunungan tengah Papua, noken bahkan dijadikan alat tukar. Noken dengan jumlah tertentu bisa ditukar dengan seekor babi. Noken juga kerap dipakai mempelai perempuan suku Dani pada pesta pernikahannya.
Pembuatan Noken Tidak Mudah
Pembuatan noken ini tidak mudah, memakan proses yang panjang dan rumit mengingat bahan utamanya adalah serat tanaman. Tanaman yang bagus menghasilkan serat adalah melinjo, mahkota dewa dan anggrek; yang diperoleh dengan memukul-mukulkan kulit kayu dan kemudian diangin-anginkan hingga kering, sebelum dipintal dan dirajut. Sebagian suku juga memberi warna khas pada noken yang mereka buat, yang didapat dari ekstrak buah dan daun. Sebagian suku memberi aksesori tambahan, seperti biji-bijian yang memiliki warna kontras, cangkang moluska (sejenis keong) atau bulu-bulu burung kakatua dan kasuari.
Ironisnya seiring perkembangan waktu, noken kini dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yang dipasok dari luar Papua dan tidak dibuat dengan cara yang biasa digunakan mama-mama. Generasi muda pun tidak banyak yang menguasai teknik pembuatan noken yang khas, sementara mama-mama kini sudah berusia lanjut. Walhasil noken tergerus jaman dan kini mulai langka.
Ini yang menjadi alasan utama Komunitas Peduli Noken untuk menyelenggarakan festival noken; yang menghadirkan beragam acara mulai dari pawai, workshop, bazaar, pentas seni hingga “noken goes to school” dan “selfie noken” untuk menarik minat anak muda. Rangkaian festival di lapangan Hocky, kota Sorong, ini akan berakhir pada tanggal 5 Desember. [em]