MANILA —
Pemerintah Filipina dan kelompok pemberontak Muslim terbesar di negara itu telah menandatangani perjanjian perdamaian bersejarah untuk secara resmi mengakhiri pertempuran selama puluhan tahun yang telah menewaskan lebih dari 120.000 orang.
Lebih dari 1.000 orang berkumpul hari Kamis di istana kepresidenan di Manila untuk menyaksikan juru runding utama pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) menandatangani apa yang disebut "kesepakatan yang komprehensif."
Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani hari Kamis, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) akan menyerahkan senjata dengan imbalan otonomi politik lebih besar di wilayah Mindanao selatan yang mayoritas penduduknya Muslim.
Berbicara pada upacara penandatanganan di Manila, Presiden Benigno Aquino memuji kesepakatan itu sebagai "jalan yang dapat mengarah pada perubahan permanen di Mindanao Muslim."
Ketua MILF Haji Murad Ebrahim mengatakan perjanjian itu adalah "kemenangan bersama" bagi semua penduduk Mindanao yang mayoritas Muslim, termasuk orang-orang Kristen dan masyarakat adat. Dia mengatakan perjanjian itu memulihkan identitas, kekuasaan dan sumber daya warga, yang disebut "Bangsamoro."
"Ketiga hal yang telah kami miliki sejak zaman dahulu, direnggut secara tidak adil melalui kolonisasi dan pendudukan, kini dikembalikan kepada kami," kata Ebrahim.
Selama hampir 40 tahun, pemberontak Muslim memperjuangkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri di pulau Mindanao. Perjanjian itu dicapai setelah perundingan yang pasang surut selama 17 tahun.
Perjanjian itu menciptakan sebuah wilayah otonomi yang disebut Bangsamoro, yang akan memiliki bentuk pemerintahan parlementer dengan kemampuan untuk mendapat penghasilan sendiri dan membentuk sistem penegakan hukum sendiri. Pemerintah pusat di Manila akan menangani pertahanan nasional, mata uang dan layanan pos .
Wilayah baru itu akan menggantikan Wilayah Otonomi di Mindanao Muslim (ARMM), yang dibentuk berdasarkan perjanjian tahun 1996 dengan sebuah kelompok pemberontak yang lebih kecil. Pemerintah menyebut ARMM, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Filipina, sebagai "eksperimen yang gagal."
Perjanjian itu menyerukan perlucutan senjata pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata, yang beroperasi di wilayah tersebut. Para pakar perdamaian mengatakan keberhasilannya tergantung pada kemampuan pemerintah pusat untuk menangani faksi-faksi yang lebih kecil yang tidak senang dengan perjanjian itu.
Mereka mengatakan sistem peradilan perlu diperkuat untuk menghentikan kebiasaan penduduk menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Perjanjian itu harus dijalankan dalam waktu singkat, karena para pejabat ingin memastikan segalanya tuntas sebelum pemilu 2016.
Sebuah komite transisi sedang menyusun rancangan undang-undang yang akan menjadi dasar untuk membentuk wilayah Bangsamoro. Kongres Filipina harus menyetujui upaya itu, yang diharapkan akan bisa diloloskan pada akhir tahun ini.
Warga wilayah Bangsamoro itu akan memberikan suara dalam referendum tahun depan untuk menentukan apakah mereka ingin dimasukkan dalam entitas baru itu. Setelah batas-batasnya ditentukan, mereka akan memilih para pemimpin dalam pemilu nasional tahun 2016, yang bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Aquino.
Lebih dari 1.000 orang berkumpul hari Kamis di istana kepresidenan di Manila untuk menyaksikan juru runding utama pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) menandatangani apa yang disebut "kesepakatan yang komprehensif."
Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani hari Kamis, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) akan menyerahkan senjata dengan imbalan otonomi politik lebih besar di wilayah Mindanao selatan yang mayoritas penduduknya Muslim.
Berbicara pada upacara penandatanganan di Manila, Presiden Benigno Aquino memuji kesepakatan itu sebagai "jalan yang dapat mengarah pada perubahan permanen di Mindanao Muslim."
Ketua MILF Haji Murad Ebrahim mengatakan perjanjian itu adalah "kemenangan bersama" bagi semua penduduk Mindanao yang mayoritas Muslim, termasuk orang-orang Kristen dan masyarakat adat. Dia mengatakan perjanjian itu memulihkan identitas, kekuasaan dan sumber daya warga, yang disebut "Bangsamoro."
"Ketiga hal yang telah kami miliki sejak zaman dahulu, direnggut secara tidak adil melalui kolonisasi dan pendudukan, kini dikembalikan kepada kami," kata Ebrahim.
Selama hampir 40 tahun, pemberontak Muslim memperjuangkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri di pulau Mindanao. Perjanjian itu dicapai setelah perundingan yang pasang surut selama 17 tahun.
Perjanjian itu menciptakan sebuah wilayah otonomi yang disebut Bangsamoro, yang akan memiliki bentuk pemerintahan parlementer dengan kemampuan untuk mendapat penghasilan sendiri dan membentuk sistem penegakan hukum sendiri. Pemerintah pusat di Manila akan menangani pertahanan nasional, mata uang dan layanan pos .
Wilayah baru itu akan menggantikan Wilayah Otonomi di Mindanao Muslim (ARMM), yang dibentuk berdasarkan perjanjian tahun 1996 dengan sebuah kelompok pemberontak yang lebih kecil. Pemerintah menyebut ARMM, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Filipina, sebagai "eksperimen yang gagal."
Perjanjian itu menyerukan perlucutan senjata pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata, yang beroperasi di wilayah tersebut. Para pakar perdamaian mengatakan keberhasilannya tergantung pada kemampuan pemerintah pusat untuk menangani faksi-faksi yang lebih kecil yang tidak senang dengan perjanjian itu.
Mereka mengatakan sistem peradilan perlu diperkuat untuk menghentikan kebiasaan penduduk menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Perjanjian itu harus dijalankan dalam waktu singkat, karena para pejabat ingin memastikan segalanya tuntas sebelum pemilu 2016.
Sebuah komite transisi sedang menyusun rancangan undang-undang yang akan menjadi dasar untuk membentuk wilayah Bangsamoro. Kongres Filipina harus menyetujui upaya itu, yang diharapkan akan bisa diloloskan pada akhir tahun ini.
Warga wilayah Bangsamoro itu akan memberikan suara dalam referendum tahun depan untuk menentukan apakah mereka ingin dimasukkan dalam entitas baru itu. Setelah batas-batasnya ditentukan, mereka akan memilih para pemimpin dalam pemilu nasional tahun 2016, yang bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Aquino.