Filipina mengikuti keputusan Selandia Baru, menolak masuknya Myanmar dalam pakta perdagangan bebas terbesar di dunia. Keputusan Filipina dan Selandia Baru itu merupakan wujud tentangan internasional terhadap pengambilalihan kekuasaan oleh militer yang memicu kekerasan dan kemunduran demokrasi di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin Jr. mengatakan kepada rekan-rekannya di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam pertemuan pada Kamis (17/2) di Kamboja bahwa Filipina tidak akan menerima “instrumen ratifikasi'' Myanmar dalam Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RECP), merujuk pada dokumen kunci yang mengikat suatu negara dalam perjanjian perdagangan bebas 15 negara, yang mulai berlaku 1 Januari.
Dalam pidato Locsin yang dirilis kepada wartawan di Manila pada hari Jumat (18/2), ia tidak menyebutkan alasan apa pun atas keputusan Filipina itu. Namun, ia menambahkan bahwa ia siap untuk mengalah jika sikap itu akan menghalangi posisi kolektif blok regional 10 negara yang mencakup Myanmar itu.
Belum jelas apakah negara-negara lain di bawah RCEP, yang mencakup semua 10 anggota ASEAN, bersama dengan China, Jepang, Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan, juga akan menolak inklusi Myanmar dan akhirnya melarangnya dari blok perdagangan besar itu.
Militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Aksi pengambilalihan kekuasaan itu memicu protes jalanan yang meluas dan pembangkangan sipil. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sekitar 1.500 warga sipil tewas akibat tindakan pasukan keamanan. Suu Kyi, 76, tetap ditahan bersama para pejabat lain yang digulingkan dan menghadapi serangkaian tuduhan yang menurut kelompok-kelompok HAM tidak berdasar.
Dua diplomat Asia mengatakan kepada Associated Press pekan ini bahwa Selandia Baru memberitahu negara-negara lain di RCEP bahwa mereka tidak akan mengakui dokumen Myanmar yang mengizinkannya bergabung dengan blok perdagangan itu karena menentang pemerintahnya yang dipimpin militer.
Selandia Baru termasuk di antara negara-negara Barat yang dengan cepat menentang pengambilalihan itu, menangguhkan semua kontak militer dan politik tingkat tinggi dengan Myanmar dan meminta para pemimpin militer untuk segera membebaskan semua pemimpin politik dan memulihkan pemerintahan sipil. Negara itu juga memberlakukan larangan perjalanan bagi para jenderal Myanmar. [ab/uh]