Darah manusia itu "asin sekaligus manis" saat diminum, menurut seorang pembunuh massal dalam "The Look of Silence," film dokumenter memukau yang ditayangkan perdana di Venesia.
Sutradara film ini, Joshua Oppenheimer, kembali menampilkan subyek dalam film sebelumnya "The Act of Killing" mengenai pembunuhan lebih dari sejuta orang yang dianggap komunis menyusul kudeta 1965 di Indonesia. Namun film kali ini melangkah lebih jauh, mengikuti seorang pria bernama Adi Rukun yang mengkonfrontasi para pembunuh saudara laki-lakinya.
"Kami menggorok leher mereka dan mengumpulkan darahnya dalam gelas. Jika kita tidak minum darah manusia kita akan jadi gila," ujar pemimpin pasukan pembunuh yang percaya takhayul kepada Adi, yang sia-sia mencari rasa penyesalan dari para pembunuh itu.
Oppenheimer, 39, mengambil gambar-gambar untuk kedua filmnya selama lebih dari satu dekade, namun fokus pada keluarga Adi khususnya pada 2012, mendokumentasikan dampak konfrontasi di masa lalu terhadap para orangtuanya yang telah menua, istri dan kedua anaknya.
Para pembunuh dan keluarga korban hidup berdampingan di seluruh Indonesia, masing-masing sadar akan pihak yang lain, namun setiap dari mereka -- terutama para penyintas -- tidak ingin membuka luka masa lalu.
Ada rasa permusuhan diantara para pembunuh yang diwawancara dalam "The Look of Silence" yang tidak terlihat dalam dokumenter pertama, dan setelah ancaman-ancaman yang direkam kamera untuk mengekspos Adi sebagai komunis diam-diam, ia dan keluarganya pindah ke luar negeri.
"The Act of Killing" -- yang masuk nominasi Piala Golden Lion di Festival Film Venesia -- hanya dirilis setelah pengambilan gambar "The Look of Silence" selesai, karena sutradara kelahiran Texas itu tahu bahwa jika ditampilkan di publik, ia tidak akan bisa kembali ke Indonesia dengan selamat.
"Saya menerima ancaman setiap saat. Saya bukan orang yang pemberani, saya mudah takut," ujar Oppenheimer yang bersuara halus.
"Membuat 'The Look of Silence' menakutkan saya. Saya rasa itu menakutkan bagi kita semua," tambahnya, mengenai gambar-gambar yang membuat merinding karena takut dan jijik.
"Kami berhati-hati, hanya mempekerjakan satu awak film asing dan menyiapkan dua mobil yang bisa melarikan kami setiap saat. Kami seringkali berpura-pura memiliki kesalahan teknis dengan peralatan supaya mengulur waktu untuk membuat situasi lebih tenang," ujarnya.
Adi, seorang ahli optik pada usia 40an awal, menggunakan usahanya untuk membuka komunikasi dengan para pembunuh, bertanya saat memeriksa mata mereka mengenai peran mereka dalam membunuh para "komunis", yang sebenarnya dilihat sebagai musuh militer, termasuk para intelektual dan etnis China.
Dokumenter itu memasukkan cuplikan dari laporan televisi Amerika pada 1967 mengenai pembantaian dan seorang pembunuh yang memuji AS karena mengajarkannya membenci komunis. Jelas bahwa Oppenheimer sekali lagi menekan untuk mendapatkan reaksi dari Barat, yang menurutnya tidak hanya mengabaikan pembunuhan tapi juga mendorongnya.
Propaganda untuk Anak-anak
Salah satu dari momen-momen yang paling alami dan melukai hati adalah ketika Adi menemukan bahwa salah seorang anggota keluarganya berperan dalam kematian abangnya Ramli, yang dipenjara dan kemudian dibantai sebelum dilemparkan ke Sungai Ular.
Dua dari para pembunuh menunjukkan pada Oppenheimer tempat ia dibunuh, menertawakan bagaimana ia menggorok leher para korbannya -- "tubuhnya mengapung, kepalanya naik turun!" -- sebelum berhenti untuk mengagumi dan mencium bunga di sepanjang bantaran sungai.
Salah satu faktor pendorong di belakang keputusan Oppenheimer untuk membuat kedua dokumenter itu terangkum dalam adegan di sekolah putra Adi, di mana guru sejarah membela pembantaian itu dan memuji negara karena melindungi demokrasi.
"Tidak ada yang benar-benar berubah dan anak-anak masih dijejali propaganda. Ini mimpi buruk yang terjadi setiap hari," ujar sutradara tersebut.
Adi mengatakan film dokumenter ini membawa jawaban dan kelegaan pada tingkat pribadi, namun ia mengingatkan bahwa "masih ada diskriminasi terhadap para keluarga penyintas di Indonesia dan kami selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang para pembunuh."
Meski gagal mendapat permintaan maaf dari para pembunuh, ia mengatakan berharap bahwa "pelaku akan mengakui apa yang mereka lakukan, bahwa itu salah dan bahwa kami tidak jahat -- merekalah yang melakukan hal yang mengerikan."
Ia mengatakan bahwa ia ingin "semuanya dapat saling memaafkan, sebuah langkah penting untuk meyakinkan satu sama lain bahwa kita dapat hidup bersama." (AFP)