Namun, perdebatan memanas antara pihak lokal dan asing, terkait siapa yang akan mengontrol pasar tanaman dan olahannya yang diklaim besar itu, seperti dilaporkan Kantor Berita Reuters.
Belakangan sejumlah perusahaan asing mengajukan izin paten beberapa zat dari ganja.
Kondisi ini membuat pebisnis dan aktivis ganja Thailand khawatir bahwa paten akan membuat asing mendominasi pasar ganja Thailand, membuat orang lokal kesulitan mengakses ganja di negaranya sendiri.
“Mengerikan jika paten dikeluarkan. Berbagai inovasi terkait ganja akan terkendala,” kata Chokwan Kitty Chopaka, aktivis Highlands Network, sebuah kelompok yang mengadvokasi legalisasi ganja di Thailand.
Di antara perusahaan asing yang berupaya masuk ke pasar Thailand adalah perusahaan farmasi raksasa asal Inggris, GW Pharmaceuticals dan Otsuka Pharmaceutical dari Jepang. Keduanya telah mengajukan paten terkait ganja.
“Sejauh ini izin paten kami tidak jalan-jalan prosesnya, mungkin karena besarnya penolakan terhadap pebisnis asing,” kata salah satu pejabat perusahaan asing yang menolak identitasnya dicantumkan.
Dugaan sang pejabat, mungkin ada benarnya. Warga Thailand yang menolak perusahaan asing bahkan telah mengancam akan menghambat proses legalisasi ganja, dengan menuntut pemerintah secara hukum, jika paten diberikan kepada asing.
Parlemen Thailand disebut akan mengesahkan aturan yang melegalisasi ganja pada Januari 2019.
Di antara negara penolak
Langkah Thailand untuk melegalkan ganja untuk keperluan medis dan penelitian, mengikuti sejumlah negara lainnya di dunia; Kolombia, Israel, Venmark, Inggris dan sejumlah negara bagian di Amerika.
Uruguay dan Kanada bahkan telah melangkah lebih jauh, melegalkan ganja untuk rekreasi, untuk kesenangan.
Negara tetangga Thailand, misalnya Malaysia dan Singapura, dalam tahap awal pembahasan terkait legalisasi ganja. Namun, jika dilihat secara menyeluruh, ganja adalah isu yang tabu dan ilegal di mayoritas negara di Asia Tenggara.
Di Indonesia saja misalnya, menyelundupkan ganja bisa berujung hukuman mati. Sementara, di Filipina, ribuan orang telah dibunuh sejak 2016, ketika Presiden Rodrigo Duterte menggencarkan program melawan narkoba.
Bagian dari budaya Thailand
Orang Thailand telah menggunakan ganja sebagai obat-obatan tradisional selama berabad-abad, sebelum kemudian dilarang pada 1934.
Petani disebut menggunakannya untuk melemaskan otot setelah seharian mencangkul di sawah. Ganja juga digunakan untuk mengurangi rasa sakit saat ibu melahirkan.
Bahkan, kata ‘bong’ (alat untuk menghisap ganja) adalah kata dari bahasa Thailand, yang berarti pipa air.
Sejumlah pengamat menyebut, Thailand cocok menjadi pusat legalisasi ganja, karena iklim tropis membuat ganja lebih gampang dan mudah diproduksi dibandingkan dengan di negara-negara belahan bumi selatan atau utara, misalnya Amerika Serikat.
Lembaga audit keuangan internasional, Deloitte, bahkan menyebut pasar ganja untuk medis internasional akan bernilai US$50 miliar atau Rp725 triliun pada 2025.
Untuk perusahaan lokal Thailand, Thai Cannabis Corporation (TCC), dilegalkannya ganja untuk medis akan menjadi “awal dari kembalinya tradisi berusia ratusan tahun.”
“Jelas bahwa ganja adalah bagian dari obat-obatan tradisional Thailand, dan kita harus pastikan bahwa orang Thailand menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,” kata Jim Plamondon, kepala pemasaran TCC. (rh)