Perdana Menteri Inggris Theresa May berjuang keras untuk membujuk para pemimpin Eropa agar merenegosiasi perjanjian Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Mayoritas besar anggota parlemen Inggris telah menyatakan akan menolak perjanjian tersebut apabila May tidak mendapatkan konsesi bagi persetujuan Brexit itu.
Akan tetapi sekutu-sekutu Eropa menolak perubahan besar terhadap perjanjian penarikan keanggotaan pada KTT dua hari di Brussels yang dimulai hari Kamis (13/12) kemarin.
Posisi May semakin lemah pekan ini setelah sepertiga anggota parlemen dari partainya memutuskan menolaknya dalam mosi tak percaya terhadap kepemimpinannya di partai, yang mendorong munculnya janji bahwa ia tidak akan memimpin partainya hingga pemilu berikutnya.
Setibanya di Brussels hari Kamis, May menyatakan ia tetap optimistis mengenai perjanjian Brexit.
“Saya tidak mengharapkan terobosan segera, tetapi yang saya benar-benar harapkan adalah kita dapat mulai bekerja sesegera mungkin mengenai jaminan yang diperlukan,” katanya.
Kemungkinan besar yang diperlukan lebih dari sekadar jaminan untuk dapat meloloskan perjanjian itu di parlemen Inggris. Banyak anggota parlemen, termasuk puluhan yang berasal dari partai Konservatif pimpinan May, menentang persetujuan itu, yakni kebijakan yang akan membuat Inggris atau Irlandia Utara tetap terikat peraturan Uni Eropa apabila perjanjian perdagangan tidak tercapai. Tujuannya adalah untuk menghindari perbatasan yang dikontrol dan dilindungi dengan ketat antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia karena ditakutkan hal ini akan membuka kembali masalah sektarian.
Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar menolak untuk menyetujui perubahan apapun.
Sementara itu Presiden Perancis Emmanuel Macron juga menyatakan pendapat serupa. [uh]