Baru minggu lalu, Menteri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan yang juga orang kepercayaan Presiden Joko Widodo, menyebut jus manggis sebagai obat virus corona.
Seperti dilansir dari kantor berita Reuters, Rabu (19/8), usulan Luhut itu adalah yang usulan terbaru dari serangkaian penyembuhan alternatif yang disodorkan oleh kabinet selama enam bulan terakhir. Sebut saja mulai dari doa, nasi yang dibungkus dengan daun pisang hingga kalung kayu putih.
Berbagai pengobatan tersebut mencerminkan pendekatan yang tidak ilmiah untuk memerangi virus corona di Indonesia, yang merupakan negara terpadat keempat di dunia ini. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pengujian virus corona terendah, pelacakan kontak minim, dan pihak berwenang menolak menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), bahkan saat infeksi meningkat.
Indonesia secara resmi telah melaporkan 6.346 kematian akibat Covid-19. Angka tersebut adalah angka tertinggi di Asia Tenggara. Bila dihitung dengan jumlah orang yang meninggal dengan gejala Covid-19 akut tetapi tidak dites, angka kematiannya bisa tiga kali lebih tinggi.
Indonesia sekarang memiliki penyebaran infeksi tercepat di Asia Timur, dengan 17 persen orang dinyatakan positif. Angka infeksi bisa menyentuh hampir 25 persen untuk wilayah-wilayah di luar ibu kota, Jakarta. Menurut Oranisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), angka penyebaran infeksi di atas 5 persen artinya wabah tidak berhasil dikendalikan.
“Virus ini sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Yang kami lakukan pada dasarnya adalah herd immunity, ” kata Prijo Sidipratomo, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Veteran Nasional di Jakarta. “Jadi, kita harus menggali banyak, banyak kuburan.” Kekebalan kelompok (herd immunity) menggambarkan skenario di mana sebagian besar populasi tertular virus dan kemudian kekebalan yang meluas menghentikan penyebaran infeksi tersebut.
Wiku Adisasmito, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tidak menanggapi pertanyaan mendetil dari Reuters. Ia mengatakan, angka penularan merupakan "peringatan bagi Indonesia untuk terus meningkatkan upaya penanganannya", dan kasus positif per kapita di Indonesia lebih rendah dari kebanyakan negara. Kantor Presiden Joko Widodo tidak menanggapi pertanyaan yang dikirim oleh Reuters.
Yang pasti, 144.945 infeksi yang dikonfirmasi di Indonesia dari populasi 270 juta jauh lebih sedikit daripada jutaan yang dilaporkan di Amerika Serikat, Brazil, dan India, dan di bawah negara tetangga Filipina, yang memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia. Namun, angka sebenarnya penyebaran wabah di Indonesia mungkin masih tersembunyi. India dan Filipina menguji empat kali lebih banyak per kapita, sementara Amerika Serikat menguji 30 kali lebih banyak.
Statistik dari Our World in Data, menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita. Our World Data adalah sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford.
“Kekhawatiran kami adalah kita belum mencapai puncak (pandemi). Bahwa puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini,” kata Iwan Ariawan, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia. “Saat ini kita tidak dapat mengatakan bahwa itu terkendali.”
Menurut penuturan lebih dari 20 pejabat pemerintah, manajer laboratorium, dan pakar kesehatan, kepada Reuters, pada awal pandemi, pemerintah Indonesia lambat menanggapi dan terkesan enggan mengungkapkan fakta kepada publik.
Meski jumlah kasus meningkat di sejumlah negara tertangga dan pada Februari sudah memiliki 3.000 alat tes polymerase chain reaction (PCR) – yang sudah disetujui WHO untuk mendeteksi virus corona, pemerintah mengatakan kurang dari 160 tes dilakukan hingga 2 Maret.
Pada 13 Maret, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah menahan informasi agar tidak "menimbulkan kepanikan". Dua narasumber yang memiliki akses data mengatakan kepada Reuters, selama dua minggu pertama pada Maret, pemerintah menyembunyikan setidaknya setengah dari jumlah infeksi harian yang diketahuinya. Kedua orang tersebut mengatakan bahwa mereka kemudian dibatasi untuk melihat data mentah.
Studi ilmiah telah menunjukkan tes cepat, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR, yang menguji usapan dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik. Menurut tiga manajer lab, keputusan Jokowi untuk mendorong penggunaan pengujian yang kurang andal mengalihkan sumber daya dari pengujian PCR.
Alvin Lie, komisioner di kantor Ombudsman Indonesia, mengatakan kepada Reuters bahwa para importir tes cepat, termasuk badan usaha milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya tes hingga Rp 1 juta kepada konsumen. Padahal tesnya sendiri hanya Rp 50 ribu.
Pada pertengahan April, pemerintah provinsi mengatakan pengujian cepat di provinsi di Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta menghasilkan ratusan negatif palsu dan positif palsu.
Namun, tes tersebut terus digunakan secara luas dan butuh waktu hingga Juli untuk menghentikan impor tes cepat dan bagi pemerintah untuk memberlakukan batasan harga sebesar Rp 150 ribu. Pada Juli, Indonesia juga secara resmi menyarankan pemerintah provinsi dan lainnya untuk tidak menggunakan pengujian cepat untuk tujuan diagnostik dalam pedoman terbaru untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Adisasmito menolak berkomentar apakah seruan presiden untuk pengujian cepat merusak upaya pengujian secara keseluruhan. Dia mengakui ketidakakuratan tes cepat, tetapi mengatakan itu masih berguna dalam beberapa situasi di mana kapasitas untuk menggunakan tes PCR terbatas, termasuk untuk menyaring wisatawan. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan tentang perusahaan yang mendapat untung besar dari tes.
Pemerintah pusat tidak mengungkapkan tingkat pengujian cepat nasional. Namun data dari Jawa Barat, provinsi terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk 50 juta jiwa, menunjukkan bahwa mereka telah melakukan tes cepat 50 persen lebih banyak daripada tes PCR.
Para pejabat pemerintah mengatakan sudah ada 269 laboratorium dengan mesin PCR yang sekarang beroperasi. Namun, laboratorium semakin tidak dapat memenuhi permintaan pengujian karena jumlah infeksi meningkat. Menurut data pemerintah, jumlah kasus suspek atau - mereka yang memiliki gejala Covid-19 yang belum diuji- meningkat dua kali lipat menjadi 79 ribu dalam sebulan terakhir.
Menurut empat pejabat kesehatan, sebagian dari masalahnya adalah kapasitas lab masih jauh dari dimanfaatkan sepenuhnya. Achmad Yurianto, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang juga mantan juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, mengatakan kepada Reuters bahwa Indonesia mampu menguji 30 ribu orang per hari. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat rata-rata harian jumlah orang yang dites selama sebulan terakhir, atau 12.650 orang.
Selalu di Gelombang Pertama
Beberapa penasihat pemerintah mengatakan keputusan Indonesia untuk menolak memberlakukan lockdown penuh didorong oleh kekhawatiran dengan ekonomi dan keamanan.
Sebaliknya, pemerintah malah mendesak masyarakat Indonesia untuk memakai masker, mencuci tangan, dan mempraktikkan menjaga jarak aman saat bekerja, bepergian, dan bersosialisasi.
Perekonomian Indonesia menyusut hanya 5,3 persen pada triwulan kedua 2020, jauh lebih kecil dibandingkan perekonomian di banyak kawasan lainnya. Namun, ahli epidemiologi mengatakan mereka khawatir keputusan itu akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang, terutama karena sistem kesehatannya tidak memadai untuk mengatasi jika kasus positif terus meningkat.
Dr Bambang Pujo, ahli anestesi di rumah sakit rujukan utama Covid-19 di Surabaya, mengatakan angka kematian di ruang perawatannya berkisar antara 50-60 persen dan jumlah tempat tidur tidak memadai.
“Sepuluh jam di dalam baju hazmat seperti lari maraton dua kali,” kata Bambang Pujo, yang gemar olahraga lari, menggambarkan jam-jam panjang yang dia habiskan dengan alat pelindung di dalam unit perawatan intensif. “Bayangkan bagaimana perasaan kami. Ini seperti bermain sebagai Tuhan. Kami berharap kami tidak membuat kesalahan dan, jika kami melakukannya, kami dimaafkan. "
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan Indonesia hanya memiliki 2,5 tempat tidur perawatan intensif per 100 ribu orang, Menurut laporan Universitas Princeton pada April, jumlah itu sebanding dengan 6,9 per 100 ribu orang di India. Adisasmito mengatakan sistem pelayanan kesehatan terus ditingkatkan.
“Kita harus tahu infrastruktur kita belum siap menghadapi pandemi seperti ini,” kata Pujo. “Negara lain telah mendengar gelombang kedua. Kita selalu di gelombang pertama.” [ah/ft}