Buya Syafii Maarif, KH Mustofa Bisri, Sinta Nuriyah, Romo Magnis Suseno, Sri Sultan Hamengkubuwono X, hingga Mahfud MD adalah tokoh-tokoh yang telah lama berperan di Indonesia. Masing-masing bergerak dengan latar belakang berbeda, cara dan tujuan beragam. Lewat diskusi kecil, deretan tokoh itu coba disatukan dalam sebuah lokomotif baru bernama Gerakan Suluh Indonesia. Gerakan ini mengadakan pertemuan pertama kali di Yogyakarta, Rabu (01/09) yang juga menandai dimulainya kiprah mereka.
Suluh adalah bara api yang menerangi. Gerakan inipun, kata Mahfud MD, mencoba memiliki peran yang sama di tengah gelapnya ruang politik Indonesia yang memuncak, antara lain karena berkembangnya politik identitas. Gejala itu nampak dari upaya membenturkan pemeluk agama. Hoax yang datang bak air bah terutama di media sosial, menjadi pendorong kuat benturan itu.
“Dan ini sungguh sangat memprihatinkan. Nah, isu ini lalu menumpang di sebuah agenda konstitusional yaitu Pemilu. Polarisasi menjadi semakin tajam dan celakanya lagi, ini lalu disemarakkan oleh berita-berita hoax. Berita bohong, yang dikapitalisasi begitu rupa dan nampaknya diorganisir,” ujar Mahfud.
Gerakan Suluh Indonesia ingin mencerdaskan masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, gerakan ini juga diharapkan menjadi jembatan mengatasi perpecahan, terutama karena perbedaan pilihan politik. Para tokoh yang bergabung datang dari agama dan kutub politik beragam, tetapi harus memiliki satu semangat yaitu menyatukan.
“Karena sayang sungguh sayang, kalau negara yang seindah ini, merdeka atas berkat Allah Yang Maha Kuasa, hancur karena hoax, karena perbedaan politik. Pemilu itu hanya untuk memilih pemimpin selama lima tahun, sedangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kita inginkan untuk selamanya,” lanjut Mahfud.
Romo Beny Susetyo, yang juga tergabung dalam Gerakan Suluh Kebangsaan, mengaku prihatin dengan maraknya produksi kebohongan oleh elit politik. Lebih buruk lagi, kebohongan itu dikapitalisasi seolah-olah menjadi benar. “Ketika kebohongan menjadi kebenaran dan menjadi persepsi kebenaran, maka akal sehat dan nalar menjadi hilang. Jadi persoalan kita adalah hilangnya kesadaran nalar itu,” ujar Romo Beny.
Masyarakat harus mampu memilah untuk memutus siklus kebohongan itu. Dibutuhkan pula pikiran yang terbuka terhadap perbedaan. Kemampuan memilah informasi menjadi penting, karena kini Indonesia kehilangan kepakaran, sebab semua orang berbicara melalui media sosial dan merasa paling benar.
“Maka pentingnya menyelamatkan demokrasi ini adalah mencari pemimpin yang memiliki keutamaan publik, yang bisa mengaktualisasikan ideologi Pancasila menjadi ideologi praksis. Pemimpin yang bisa membangun kemanusiaan dan keadilan lewat karya yang nyata dan parameter yang jelas. Jangan sampai kewarasan kita hilang,” ujar Romo Beny.
Beny juga mengingatkan agar kesadaran kritis masyarakat tidak dimanipulasi oleh propaganda dari manapun. Karena menurutnya, propaganda selalu mengelabui fakta dan data serta memancing emosi publik.
Buya Syafii Maarif, tokoh sepuh di balik gerakan ini menilai sebagai bangsa, Indonesia belum kokoh. Karena belum kokoh itu, sebuah bangsa bisa tercerai-berai. Buya memberi contoh keinginan sebagian kecil warga bangsa untuk memisahkan diri, sebagai salah satu tanda belum kokohnya bangunan bangsa.
Berbicara di depan para tokoh yang menghadiri sarasehan Gerakan Suluh Indonesia, Buya mengingatkan peran pemerintah untuk masa depan Indonesia. Pembangunan di wilayah terpencil, terutama di Indonesia bagian timur, adalah salah satu upaya memperkuat pilar kebangsaan.
“Kita merevitalisasi semangat integrasi nasional. Karena bangsa ini belum kokoh, masih banyak ancaman. Walapun kita sudah mengatasinya, tetapi bukan berarti masa depan sudah aman. Gerakan ini adalah salah satu cara untuk mengokohkan pilar kebangsaan kita,” ujar Buya Syafii.
Sri Sultan Hamengkubuwono X yang juga berbicara dalam sarasehan ini membawa banyak pesan tentang menjadi Indonesia. Dia mengingatkan, Soekarno mengampanyekan konsep Indonesia hanya dengan bantuan radio. Masyarakat Jawa hanya bisa membayangkan seperti apa orang Aceh atau Papua, demikian sebaliknya. Berbeda dengan saat ini, di mana teknologi bisa turut menyatukan bangsa. Anehnya, kata Sultan, kini justru orang lebih sulit untuk menjadi Indonesia. Perbedaan suku atau agama bisa menjadi sebab kebencian dan tindakan di luar nalar.
Mengambil falsafah wayang, Sultan mengajak bangsa Indonesia untuk menonton pertunjukan dari balik layar. Dengan melihat lebih dalam dan tajam, masyarakat bisa memahami apakah tindakan para tokoh bisa menjadi ajaran yang baik atau sebenarnya hanya sampah. Jika tak mampu memilah, maka Indonesia tak akan pernah bisa mencari solusi untuk persoalan bangsa.
“Sebab, di depan kelir, konsentrasi bisa terpecah gara-gara desah nafas pedangdutnya atau kita sibuk tertawa terus menerus oleh pelawaknya. Tetapi sepulang menonton, yang tinggal hanyalah hati yang sepi kembali, karena berhadapan pada pahitnya kehidupan nyata, tanpa mendapat inspirasi untuk mencari solusi,” ujar Sri Sultan.
Gerakan Suluh Indonesia meminta para tokoh nasional untuk memulai sebuah kampanye media sosial. Setiap hari, masing-masing diharapkan menulis kalimat pendek yang inspiratif untuk membangun semangat kebersamaan dan mencegah perpecahan. Selain itu, gerakan ini akan menyelenggarakan dialog di berbagai kota dan kampus perguruan tinggi. Tiga bulan menjelang pemilihan presiden yang penuh konflik dianggap sebagai momen penting bagi para penggagas gerakan ini.
Akhir Januari, para tokoh akan menjelajah sebagian wilayah Indonesia dengan kereta api. Di stasiun-stasiun tertentu, mereka akan turun untuk berdialog dengan tokoh lokal untuk menyebarkan semangat persatuan. Lokomotif baru dari para tokoh lama ini diharapkan menyambung kembali untaian tali bangsa yang terkoyak perbedaan politik. [ns/uh]