Kegiatan “Sahur Keliling” bersama kelompok-kelompok lintas agama sudah dilakukan Sinta Nuriyah sejak 19 tahun lalu. Acara yang bertujuan membangkitkan rasa saling menghormati dan menghargai serta tolong-menolong sesama anak bangsa ini terasa begitu bermakna ketika direncanakan akan dilangsungkan di Yogyakarta Sabtu dini hari.
Tetapi sehari menjelang pelaksanaan acara, beredar surat keberatan dari satu ormas Islam dan tamir masjid yang ada di wilayah Gamping. Namun Sinta Nuriyah tidak surut langkah. Bersama jaringan Gusdurian, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, dan mitra-mitra lainnya, acara yang dihadiri tokoh dan umat lintas agama itu berlangsung khidmat. Ikut hadir pula para pejabat lokal, antara lain pengurus RT dan RW, polisi, TNI dan pemangku adat setempat.
“Kita harus bisa saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi, saling tolong menolong. Apakah itu bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia? Bisa. Sekalipun kita berbeda-beda agama tetapi saya yakin bahwa semua agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk bisa bersatu, saling menghormati dan saling menghargai. Begitu juga dalam agama Islam,” ujar Ibu Shinta Nuriyah Wahid.
Shinta Nuriyah menambahkan sahur bersama secara berkeliling yang dilakukannya secara terus menerus sejak masih mendampingi Gus Dur dulu, juga sempat dilakukannya di kolong jembatan, di pasar, di alun-alun dan sejumlah tempat lain dimana banyak terdapat kelompok masyarakat terpinggirkan. Kegiatan ini menurutnya mengingatkan kembali nilai-nilai dalam menjalankan ibadah puasa.
“Puasa itu mengajarkan apa sih kepada kita? Menahan nafsu, mengajarkan kita tentang kesabaran, kejujuran. Jawab dengan jujur, siapa yang tidak puasa tadi siang, aah orang Gamping memang jujur semua,” jelas Ibu Shinta Nuriyah Wahid.
Di bagian lain ceramahnya Shinta menyayangkan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang menurutnya sedang tercabik-cabik.
“Kita tingkatkan ketakwaan dan keimanan kita serta kita kembangkan kearifan kita untuk menghadpi semua itu, dan kebenaran, kejujuran harus kita pegang sebaik-baiknya sehingga kita bisa menghadapi hoax, kebencian dsb.demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia,” himbau Ibu Shinta Nuriyah Wahid.
Ketua Panitia Agnes Dwi Rusdiati mengatakan, sahur bersama di gereja dimaksudkan untuk mendorong sikap toleransi di Yogyakarta.
“Kita sudah memprediksi pasti ada yang pro dan kontra. Antisipasinya dengan membangun komunikasi mulai RT, RW, lurah, camat dan keamanan hingga ke Polres, Korem, Kodim. Kami ingin menguji juga apakah di Yogyakara kita masih bisa melakukan kegiatan lintas agama di tempat yang membuat orang sering resisten. Dan inibuktinya kita masih bisa bersama dan ada upaya-upaya dan keinginan banyak pihak keberagaman dan toleransi di Yogya,” ujar Agnes Dwi Rusdiati.
Ikut hadir Gregory Vanderbilt, dosen Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS UGM asal Amerika Serikat.
“Ini adalah bentuk harapan masa depan Indonesia karena muncul dari pihak generasi muda, mahasiswa dan kelompok budaya yang sangat ingin bersama dalam damai, 50 persen malam ini bukan muslim ya,” ujar Gregory Vanderbilt.
Catarina Tri Widyastuti, anggota paroki Gamping juga merespon positif acara sahur bersama.
“Mengingat situasi akhir-akhir ini saya sangat senang bahwa ada acara seperti ini yang menyejukkan dan membuat kami sadar, ooh...ternyata masih banyak yang ingin damai. Saya kira bagus sekali kalau bisa dirutinkan dan yang hadir lebih banyak mewakili semua elemen masyarakat,” ujar Catarina Tri Widyastuti.
Sahur keliling bersama yang berlangsung mulai pukul dua dini hari itu juga dimeriahkan kesenian hadroh dari Majelis Sholawat Gusdurian, kesenian Sloko Suko Budoyo Gancahan, disertai penampilan penyanyi Yunan Helmy dan Riska Ayu. [ms/em]