Penyintas dan anggota keluarga tenaga kerja paksa dalam Perang Dunia II telah mengajukan gugatan tambahan terhadap perusahaan-perusahaan Jepang untuk meminta ganti rugi. Tindakan hukum ini menandai litigasi baru pertama yang diajukan terhadap perusahaan Jepang, sejak pengadilan Korea Selatan untuk pertama kalinya memerintahkan perusahaan Jepang Nippon Steel dan Sumitomo Metal Corp. untuk memberi ganti rugi kepada para korban yang menjadi tenaga kerja paksa mereka semasa perang, pada Oktober lalu.
Delapan gugatan baru itu diajukan terhadap empat perusahaan. Ketiga puluh satu penggugat mencakup empat penyintas dari periode 1910-1945 - sewaktu Jepang menguasai Semenanjung Korea dan 27 anggota keluarga dari enam pekerja yang telah meninggal dunia. Masing-masing meminta ganti rugi hingga hampir 88 ribu dolar.
Dua korban semasa perang yang mengajukan gugatan itu tampil bersama dengan organisasi Pengacara bagi Masyarakat Demokratis dan Pusat Kebenaran dan Keadilan Sejarah dalam konferensi pers sewaktu kasus mereka diajukan.
Pada November 2018, Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa perusahaan Jepang Mitsubishi Heavy Industries Ltd harus memberi ganti rugi warga Korea Selatan sekitar 71 ribu dolar dalam dua kasus terpisah, atas kerja paksa yang mereka lakukan semasa Perang Dunia II.
Ini adalah putusan yang mendorong Perdana Menteri Shinzo Abe untuk menyebutnya sebagai “sesuatu yang tak terbayangkan dalam hukum internasional.”
Mitsubishi Heavy Industries Ltd. belum membayar ganti rugi itu, karena posisi pemerintah Jepang adalah seluruh kompensasi historis telah diselesaikan pada tahun 1965, sewaktu Seoul dan Tokyo membangun kembali hubungan diplomatik resmi. Akan tetapi, pengadilan Seoul telah menetapkan bahwa penyelesaian klaim terkait kerja paksa tidak termasuk perjanjian bilateral.
Akibatnya, Pengadilan Distrik Daejeon bulan lalu memerintahkan penyitaan aset yang dikuasai perusahaan-perusahaan Jepang.
Para korban berusaha memperbaiki situasi melalui mediasi, tetapi masalah ini tetap belum terselesaikan. [uh]