Shim Jae-ok, profesor Departemen Penerbangan Universitas Sehan dan bekas penerbang Angkatan Laut mengatakan kepada VOA insiden semacam itu memang terjadi dari waktu ke waktu dan sebagai sekutu kedua pihak biasanya menyelesaikanya lewat pembicaraan tingkat kerja.
"Tetapi kali ini para politisi Jepang termasuk Perdana Menteri Shinzo Abe dan menteri pertahanan menyebutnya kepada publik," kata Jae-ok.
Grant Newsham, peneliti senior pada Japan Forum for Strategic Studies di Tokyo menduga sebabnya Abe dan pemerintah Jepang membawa pertikaian terbaru ini kepada publik ialah pimpinan senior pemerintahan sudah merasa cukup kesal dengan Korea Selatan terutama keputusan terbaru pengadilan memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang membayar ganti-rugi kepada buruh kerja paksa dari zaman Perang Dunia Kedua.
Dalam hal ini sering dilupakan bahwa militer kedua negara mempunyai hubungan kerja yang cukup baik.
"Masalah sebenarnya ada di tingkat atas, bukan di tingkat militer ke militer." kata Newsham.
Bulan Desember lalu kapal Angkatan Laut Korea Selatan menanggapi sinyal bahaya dari satu kapal nelayan Korea Utara yang hanyut terapung masuk ke perairan internasional antara Korea Selatan dan Jepang.
Jepang mengatakan pesawat jenis P-1 Pasukan Bela Diri Maritimnya dibidik radar tembak dari kapal perang Korea Selatan Gwanggaeto dan merasa terancam. Sebaliknya Korea Selatan menjelaskan pihaknya merasa terancam oleh jalur dan kerendahan terbang pesawat Jepang itu.
Sejak insiden awal itu Korea Selatan melaporkan ada tiga insiden lagi di mana pesawat Jepang mendekati kapalnya pada ketinggian 60 sampai 70 meter dan bukan standar biasa 150 meter. Korea Selatan menggambarkan kerendahan terbang itu sebagai ‘tindakan provokatif’. (al)