Tautan-tautan Akses

Hampir Setahun Pandemi dan Masih Berkutat Soal Perilaku, Apa yang Keliru?


Orang-orang mengantri untuk memasuki Museum Tsunami - yang didedikasikan untuk para korban tsunami 2004 yang menewaskan sedikitnya 170 ribu orang di Indonesia dan ribuan lainnya di negara tetangga, Banda Aceh pada 2 Januari 2021. (Foto: AFP/Cha
Orang-orang mengantri untuk memasuki Museum Tsunami - yang didedikasikan untuk para korban tsunami 2004 yang menewaskan sedikitnya 170 ribu orang di Indonesia dan ribuan lainnya di negara tetangga, Banda Aceh pada 2 Januari 2021. (Foto: AFP/Cha

Pandemi sudah berlangsung hampir satu tahun. Namun, kampanye pemerintah seperti memakai masker dan menjaga jarak, ternyata masih belum maksimal. Hal itu terlihat dari mudahnya menemukan kerumunan orang yang tidak berjarak dan tanpa masker hingga hari ini.

Dr Achmad Munjid menilai, karena kampanye sudah berlangsung hampir setahun, bisa disimpulkan mereka yang tidak berubah perilakunya bukan karena tidak memahami pesan kampanye itu. Achmad Munjid adalah dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr Achmad Munjid. (Foto: VOA/Nurhadi)
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr Achmad Munjid. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Jadi, sebagian besar lebih karena tidak mau tahu. Dan tidak mau tahu itu bisa karena kepercayaan, bisa karena kebiasaan, bisa karena faktor-faktor lain yang membuat mereka tidak mau mengubah perilaku itu,” kata Munjid.

Memanusiakan Masyarakat

Dalam analisanya, Munjid menyebut faktor ketidakpedulian bisa muncul karena sebagian masyarakat merasa tidak diposisikan semestinya. Dalam kebudayaan Jawa, ada konsep diowongke, atau dimanusiakan. Sebuah tindakan yang menempatkan pihak lain setara, sehingga komunikasi berjalan dua arah dalam posisi yang sama.

“Ini saya kira dalam analisis mengenai wabah, kita sudah melihat banyak sekali angka-angka, data dan segala macam, tetapi seringkali wajah manusianya itu hilang,” tambah Munjid.

Karena manusia memiliki kemauan dan ketakutan, harus dicari alasan mengapa mereka tidak mengubah perilaku. Padahal kalangan medis sudah berupaya tanpa henti meyakinkan dampak virus Covid-19. Data kasus positif dan kematian yang terus meningkat juga dipaparkan setiap hari. Namun itu semua tidak mampu mengubah sikap sebagian masyarakat.

Beberapa orang pria sedang melakukan push up sebagai hukuman karena tidak memakai masker di tengah pandemi Covid-19 di Banda Aceh pada 10 November 2020. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)
Beberapa orang pria sedang melakukan push up sebagai hukuman karena tidak memakai masker di tengah pandemi Covid-19 di Banda Aceh pada 10 November 2020. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

Munjid berbicara dalam diskusi mingguan Sambatan Jogja (Sonjo), Minggu (3/1) malam. Diskusi kali ini membahas tema Kebiasaan Baru: Screening GeNose di Tempat Keramaian.

GeNose yang dibahas adalah sebuah alat temuan baru dari para pakar di UGM yang berfungsi melakukan skrining secara cepat. Alat ini mampu mendeteksi keberadaan virus Covid-19 di tubuh seseorang melalui nafas dalam waktu kurang dari lima menit. Pemerintah telah berkomitmen untuk membeli alat ini guna menskrining masyarakat di lokasi yang menghadirkan kerumunan, seperti bandara, stasiun, terminal bus, perkantoran hingga pabrik.

GeNose mampu mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh seseorang dalam waktu kurang dari 5 menit. (Foto: Courtesy/UGM)
GeNose mampu mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh seseorang dalam waktu kurang dari 5 menit. (Foto: Courtesy/UGM)

Namun, Munjid mengingatkan, betapapun canggih teknologi dan alatnya, yang paling menentukan apakah akan berhasil atau tidak pada akhirnya adalah respons masyarakat. Dikatakan Munjid, apa yang sudah jelas bagi sebagian orang, belum tentu sama bagi orang lain.

Menurutnya, masyarakat adalah entitas yang tidak homogen, memiliki pengetahuan berbeda, kepentingan sosial, ekonomi dan politik yang berbeda, serta relasi sosial dan situasi sosial yang juga tidak sama.

Skrining untuk Ubah Perilaku

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Prof Ova Emilia, menilai alat skrining sebenarnya bisa dipakai untuk mengubah perilaku masyarakat.

“Kita ini sudah sudah hampir satu tahun, mencoba meminta orang untuk taat 3M (menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan -red) dan bisa melakukan 3T (testing, tracing, treatment -red) dengan baik, tetapi ternyata memang tidak semudah itu. Ternyata orang mau mengubah perilaku itu bukan hanya karena informasi,” kata Ova.

Karena informasi yang diberikan ke masyarakat sudah cukup, tetapi perilaku masyarakat tidak berubah, Ova menilai perlunya enforcement atau tindakan berdasar aturan.

“Saya melihat potensi dari GeNose ini malah justru untuk meng-enforce perilaku orang,” kata Ova.

Dalam konsep ini, GeNose tidak hanya sebagai alat deteksi, tetapi juga peluang untuk mengatur mobilitas orang. Penempatan alat ini di area publik, akan membuat setiap orang berpikir bahwa dia harus memastikan dirinya aman, dalam arti statusnya negatif Covid-19. Dengan demikian, dia juga akan membuat orang lain yang berada di area tersebut aman dari penularan. Upaya penempatan GeNose pada akhirnya mampu mengubah perilaku dan memastikan masyarakat saling menjaga.

Tidak Semua Rasional

Gumilang Aryo Sahadewo, ahli ekonomika keperilakuan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. (Foto: VOA/Nurhadi)
Gumilang Aryo Sahadewo, ahli ekonomika keperilakuan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. (Foto: VOA/Nurhadi)

Gumilang Aryo Sahadewo, ahli ekonomika keperilakuan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM menyoroti faktor perilaku masyarakat.

“Pada saat ilmu ekonomi dibentuk, kita mengasumsikan manusia itu rasional, kalkulatif, kemudian obyektif. Padahal, dalam praktiknya, manusia itu cenderung untuk bias. Cenderung untuk emosional pada saat pengambilan keputusan, dan tidak bisa diprediksi,” kata Aryo.

Karena itulah, jika pemerintah ingin menggunakan alat seperti GeNose, harus dilakukan dulu analisis apa potensi bias dalam pengambilan keputusan oleh masyarakat. Begitu pula potensi sisi emosional yang muncul, ketika mereka sukarela atau dipaksa mengikuti skrining.

Orang-orang berbelanja di tengah pandemi virus Covid-19, di sebuah pasar di Jakarta, pada 28 November 2020. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Orang-orang berbelanja di tengah pandemi virus Covid-19, di sebuah pasar di Jakarta, pada 28 November 2020. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Masyarakat harus bisa melihat manfaat dari proses yang diikutinya, baik itu untuk diri sendiri maupun orang lain. Uraian manfaat itu akan melahirkan ketenangan batin. Ketenangan itu juga bisa muncul ketika masyarakat masuk ke wilayah keramaian, seperti mall, stasiun, bandara dan sejenisnya. Jika tahu bahwa ada skrining GeNose di kawasan tersebut, masyarakat akan tenang karena merasa siapapun yang ada di sekitarnya telah dideteksi negatif Covid 19.

Faktor lain yang dipertimbangkan adalah soal biaya, yang perlu diyakinkan bahwa GeNose jauh lebih murah dari metode lain. Bias sikap masyarakat yang lain, yang juga perlu dilihat adalah resiko terdeteksi. Tidak semua orang merasa nyaman ketika menjalani skrining, justru karena takut ketahuan jika mereka positif Covid 19.

Hampir Setahun Pandemi dan Masih Berkutat Soal Perilaku, Apa yang Keliru?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

“Jika seandainya terdeteksi positif, maka harus diisolasi atau harus isolasi mandiri, tidak bisa bekerja dan seterusnya. Jadi ada potensi, bahwa terdektesi membuat dia tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi,” tambah Aryo.

Analisa perilaku masyarakat ini penting dilakukan untuk memberi jawaban kecenderungan sebagian warga yang menolak menerapkan instruksi protokol kesehatan. Para pembicara diskusi ini juga berpendapat, menempatkan masyarakat bukan sekadar sebagai obyek kampanye sangat penting. Jangan sampai muncul anggapan masyarakat bukan faktor utama dalam upaya melawan penyebaran virus ini sehingga mereka abai. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG