Arina Lokbere adalah satu dari enam orang aktivis Papua yang dipidana karena kasus makar atas pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019. Kini, dia telah menghirup udara bebas, sejak dibebaskan pada 28 Mei 2020, usai menjalani hukuman selama sembilan bulan.
Dalam sebuah diskusi daring memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional, Arina bercerita tentang penyiksaan yang dialaminya saat dikenai tuduhan sebagai pelaku kejahatan keamanan negara. Arina dan lima rekannya yakni Suryanta Ginting, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, dan Ambrosius Mulait, ditangkap aparat kepolisian usai mengikuti aksi damai menolak rasisme terhadap orang Papua.
"Saya ditangkap sebagai (seperti) teroris, pembunuh, dianggap binatang dan saya dipenjara (dengan) dikenakan (pasal) makar," kata Arina, Kamis (25/6).
Dalam proses penangkapan hingga menjalani persidangan, Arina mengalami banyak hal janggal. Mulai dari ditangkap tanpa surat penangkapan, hingga mendapat perlakuan yang mengganggu mentalnya saat ditahan di Polda Metro Jaya yang kemudian dipindahkan ke Markas Korps Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua, Depok.
Padahal, menurut Arina, dia dan bersama aktivis Papua lainnya turun aksi di depan Istana Negara hanya untuk menuntut kebenaran dan membela hak asasi manusia (HAM) orang asli Bumi Cenderawasih.
"Saya rasa ini hanya hal yang tak wajar. Mengapa saya mengalami hal itu. Saya tidak pernah merencanakan bahwa merusak nama Indonesia. Saya tidak membunuh orang, tapi kenapa dipenjarakan seperti itu," ungkap Arina.
Diperlakukan bak teroris, Arina sempat tak habis pikir kenapa dirinya sempat ditahan di Mako Brimob. Selama ditahan di situ, Arina mengakui mengalami beberapa penyiksaan mental salah satunya kerap mendapat cibiran dengan ungkapan yang menghina dan ditahan di ruangan terpisah.
Kemudian, dia dipindahkan ke Rutan Klas I Pondok Bambu, Jakarta Timur, untuk menjalani persidangan. Namun, ejekan yang menghina masih dialaminya di rutan tersebut.
"Itu yang selalu muncul dalam hati saya. Berarti negara ini bukan menyelamatkan manusia itu tapi malah menjadikan musuh terhadap orang Papua. Khususnya perempuan Papua yang punya suara dan hak untuk menyampaikan di depan umum," ujarnya.
Sementara itu, pendeta dari Gereja Komunitas Anugrah Salemba yang mendampingi enam aktivis Papua, Suarbudaya Rahadian, mengatakan penahanan dan penangkapan itu melanggar banyak protokol.
Kata dia, melihat proses penangkapan yang sangat bermasalah jadi tak heran pada saat enam aktivis Papua itu ditahan rentetan masalah akan muncul. Harusnya para tahanan itu diperlakukan dengan baik dan mendapat hak-haknya sebagai warga negara.
"Tahanan politik Papua yang di Jakarta khususnya adalah sebuah sampel dari bagaimana penanganan narapidana dan orang-orang yang sedang ditahan menjalani proses peradilan itu luput dari perhatian publik," tuturnya.
Masih kata Suarbudaya, kendati hukuman yang dijalani Arina dan lima aktivis Papua lainnya hanya sembilan bulan penjara. Namun, tekanan emosional hingga depresi menyelimuti para aktivis Papua tersebut. "Ini membuat bobot dari hukuman yang dijalani menjadi berkali-kali lebih berat rasanya," ungkapnya.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengucapkan fenomena penyiksaan juga berdampak terhadap perempuan. Untuk itu diperlukan proses perbaikan nama baik dan penerimaan masyarakat terutama untuk kebutuhan keluarga serta anak-anaknya agar tidak mengalami stigma. "Jadi tidak ada stigma tentang penjara," ucapnya.
Sedangkan Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan pemerintah perlu melakukan langkah-langkah penting dalam rangka pencegahan penyiksaan dengan meningkatkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Lalu, bekerja sama untuk pencegahan penyiksaan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk melanjutkan perjanjian yang sudah ada untuk memastikan adanya pencegahan penyiksaan dan perlakuan lain yang tak manusiawi. "Melakukan sosialisasi anti penyiksaan yang masif kepada seluruh elemen bangsa dan negara," katanya.
Komnas HAM juga meminta DPR dan pemerintah untuk segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT).
"Karena ini satu langkah penting setelah pada tahun 1998 kita meratifikasi terhadap OPCAT. Instrumen induknya kita ratifikasi tapi operasional protokolnya belum diratifikasi," pungkasnya.
Sayangnya pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang sedianya ikut memberi pandangan terkait Hari Anti Penyiksaan Internasional ini mendadak tak dapat hadir.
Sementara itu, menanggapi pernyataan dari Komnas HAM terkait meratifikasi OPCAT, anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu mengatakan ratifikasi perjanjian internasional (termasuk OPCAT) belum masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2019 sampai 2024.
Untuk itu Komnas HAM harus proaktif menyampaikan kepada pemerintah agar bisa dijadikan usulan kepada DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Berdasarkan Undang-undang No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan membolehkan DPR, pemerintah, dan DPD mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) di luar daftar Prolegnas, baik jangka panjang (lima tahunan) maupun tahunan, atau disebut dengan kumulatif terbuka," kata Masinton melalui keterangan tertulisnya kepada VOA.
Namun, kata Masinton, pengajuan RUU di luar Prolegnas ini harus memenuhi beberapa syarat.
"Pertama, adanya urgensi dan tujuan penyusunan. Kedua, sasaran yang ingin diwujudkan. Ketiga, pokok pikiran, lingkup dan objek yang bakal diatur. Keempat, jangkauan dan arah pengaturan. Persyaratan tersebut harus dituangkan dalam naskah akademik," tandasnya. [aa/ft]