Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana membangun fasilitas pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) di 32 lokasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Fasilitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penanganan limbah Covid-19.
Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, KLHK, Sinta Saptarina mengatakan pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 tersebut akan dilakukan bertahap hingga 2024.
“Di 2020 kami sekarang sedang tahap penyelesaian di Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Nusa Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur” Kata Sinta Saptarina dalam kegiatan daring “Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 dan Penghapusan Alat Kesehatan Bermerkuri,” Senin (14/12).
Lima fasilitas serupa akan dibangun di Maluku, Papua Barat, Papua, Kepulauan Bangka Belitung, dan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 2021
KLHK pada Mei 2020 menyampaikan bahwa jumlah limbah medis dari Pandemi Covid-19 meningkat 30 persen, sedangkan kapasitas pengolahan limbah B3 medis di beberapa daerah terutama di luar Jawa masih terbatas.
Menurut Sinta, timbulan atau volume limbah infeksius (limbah B3) Covid-19 di Indonesia mencapai 1.662,75 ton pada periode 19 Maret hingga 19 September 2020. Terbanyak di DKI Jakarta, yaitu dengan 337,16 ton dan Jawa Timur sebanyak 211,99 ton. Sinta tidak memberikan data perbandingan volume sampah medis pada 2019.
Keterbatasan Fasilitas
Dia mengungkapkan peningkatan kapasitas penanganan limbah Covid-19 terkendala keterbatasan fasilitas pengelolaan limbah yang dimiliki oleh fasilitas pelayanan Kesehatan (fasyankes).
Saat ini, terdapat 117 rumah sakit yang memiliki izin pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan insinerator untuk membakar limbah padat dengan kapasitas total 71.53 ton per hari.
KLHK juga sudah mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan rumah sakit menggunakan fasilitas insinerator yang belum memiliki izin operasional untuk memusnahkan limbah medis Covid-19. Sedangkan untuk daerah terpencil yang belum memiliki fasilitas pengolahan, limbah dapat dikuburdengan mengikuti Peraturan Menteri KLHK.
Meskipun saat ini sudah terdapat 17 jasa pengolah limbah B3 Medis dengan kapasitas total 252,48 ton per hari, tetapi sejumlah fasilitas itu baru tersedia di Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
“Jadi sebetulnya di atas kertas harusnya ini sudah bisa terbakar semua limbah medisnya namun memang penyebarannya yang belum merata,” jelas Sinta Saptarina.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Kirana Pritasari, mengungkapkan seiring dengan meningkatnya kasus positif Covid-19 di Indonesia, volume limbah medis yang dihasilkan dari penanganan kasus dan pemeriksaan di fasyankes, juga meningkat.
Limbah medis B3 itu memerlukan pengelolaan yang benar dan aman. Mulai dari pemilahan, pewadahan, penyimpanan sementara, pengangkutan dan pengolahan akhir.
“Jadi apabila jumlah kasus Covid-19 saat ini yang ada dalam perawatan yaitu sebanyak 93.165, maka jumlah timbulan limbah medis Covid-19 adalah sebesar 63,3 ton per harinya” kata Kirana Pritasari dalam kegiatan evaluasi tersebut.
Dikatakannya, berbagai sarana kesehatan seperti alat pelindung diri (APD), alat sampel laboratorium yang telah digunakan tergolong merupakan limbah B3 infeksius atau dapat menularkan penyakit. Pengelolaan limbah itu harus dilakukan secara cepat, dekat, tepat dan akurat sekaligus untuk mengendalikan, mencegah dan memutus penularan Covid-19.
Pedoman Pengolahan Limbah Medis
Vensya Sitohang, Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI, mengungkapkan Kementerian Kesehatan telah memberikan pedoman pengelolaan limbah medis fasyankes dan limbah dari kegiatan isolasi atau karantina mandiri di masyarakat dalam penanganan Covid-19.
“Untuk limbah padat B3 medis dengan penekanan kategori infeksius maka pengolahan diupayakan diselenggarakan di dalam fasyankes dengan menggunakan insenerator maupun autoclave (alat sterilisasi),” kata Vensya Sitohang. Menurutnya rata-rata perkiraan limbah Covid-19 per pasien per hari adalah 1,88 kg.
Vensya mengungkapkan dari 12.893 fasyankes, baru 1.279 atau 9,97 persen yang mengolah limbah medis secara mandiri. Dalam kondisi ini, pemerintah daerah perlu memfasilitasi fasyankes yang tidak mampu mengelola limbah medisnya sendiri dengan penyediaan pengelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau bekerja sama dengan pihak swasta.
Limbah terkontaminasi Covid-19 di fasyankes di antaranya alat bekas pakai berupa masker, sarungan tangan, perban, tisu, alat suntik, set infus, APD, dan sisa makanan pasien.
Dalam surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease menyebutkan penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan yang tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan.
Pemusnahan di fasilitas insinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius atau menggunakan autoclave (alat sterilisasi) yang dilengkapi dengan pencacah. Residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan dilekati simbol “Beracun” dan label Limbah B3, yang selanjutnya disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3, untuk selanjutnya diserahkan kepada pengelola limbah B3. [yl/ft]