Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, menyatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi terbaru terkait vaksin COVID-19 untuk anak usia 6 sampai 11 tahun. Rekomendasi IDAI itu mencakup vaksinasi COVID-19 harus diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,5 ml sebanyak dua kali pemberian dengan jarak antara dosis pertama dan kedua, yaitu empat minggu.
"Kami memandang bahwa anak dengan penyakit komorbiditas seperti kondisi kronis stabil itu justru mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami komplikasi apabila menderita infeksi COVID-19," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (17/12).
Oleh karena itu anak-anak dengan penyakit komorbiditas yang akan divaksin COVID-19 harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari dokter yang merawatnya.
"Ini untuk mempertegas karena di lapangan itu anak-anak dengan kondisi yang kronis sering kali ditolak. Tapi justru ini menguatkan bahwa anak-anak dengan kondisi kronis tapi stabil justru harus mendapatkan vaksinasi. Karena kalau mereka terinfeksi COVID-19 risikonya lebih tinggi," ujar Piprim.
Rekomendasi selanjutnya yakni anak yang sudah pernah tertular COVID-19 tetap perlu divaksinasi.
Khusus anak yang menderita COVID-19 berat atau MIS-C (Multi System Inflammatory Syndrome in Children) maka pemberian vaksin harus ditunda selama 3 bulan. Sedangkan, apabila menderita COVID-19 derajat ringan hingga sedang hanya ditunda selama sebulan.
Selanjutnya, anak berkebutuhan khusus, mengalami gangguan perkembangan serta perilaku, juga perlu mendapat vaksinasi COVID-19. Begitu pun bagi anak yang berada di panti asuhan juga perlu divaksin COVID-19.
"Perlu pendekatan khusus untuk melaksanakan pemberian vaksinasinya," ungkap Piprim.
IDAI pun merekomendasikan jarak pemberian vaksin COVID-19 dengan vaksin lainnya minimal dua minggu.
"Kalau dahulu sebulan. Dengan (jarak) dua minggu lebih fleksibel sehingga tidak mengganggu jarak vaksin COVID-19 dosis pertama dan kedua," tandas Piprim.
IDAI: Pertimbangkan Vaksinasi Anak dengan Autoimun
Ketua Satgas Imunisasi IDAI, Hartono Gunardi, mengatakan pemberian vaksin COVID-19 terhadap anak yang menderita gangguan kekebalan bawaan atau penyakit autoimun yang tidak terkontrol harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
"Anak-anak yang seperti ini perlu dipertimbangkan antara manfaat dengan risikonya. Itu perlu ditentukan oleh dokter yang merawat sebelumnya," katanya.
Gunardi menjelaskan ada kategori anak yang tidak boleh mendapatkan vaksin COVID-19. Pertama, anak-anak yang mengalami reaksi anafilaksis (sensitivitas tinggi) alergi berat karena komponen vaksin pada pemberian vaksinasi sebelumnya. Kemudian, anak yang menderita penyakit sindrom Guillian-Barre atau penyakit syaraf tertentu juga tidak boleh divaksinasi.
Kemudian, anak yang mendapat pengobatan imunosupresan (obat-obat penurun fungsi imun tubuh) atau sitostatika yang berat juga tidak boleh mendapatkan vaksinasi COVID-19. Lalu, anak yang dalam tujuh hari terakhir dirawat di rumah sakit atau mengalami kegawatan seperti sesak napas, kejang, tidak sadar, berdebar-debar, pendarahan, hipertensi, tremor hebat, juga harus ditunda pemberian vaksinnya.
"Kalau kondisinya sudah baik dan sembuh maka vaksinasi bisa diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter yang merawat," jelasnya.
Bukan hanya itu, setelah pemberian vaksin COVID-19 anak juga perlu dipantau selama 15 hingga 30 menit terkait kemungkinan munculnya reaksi alergi berat.
"Semua anggota IDAI harap mengikuti panduan pelaporan vaksinasi dan pemantauan setelahnya yang sudah dikeluarkan Kementerian Kesehatan," pungkas Gunardi.
Sementara, Executive Director International Paediatrics Association (IPA) and President Asia Pacific Paediatrics Association (APPA), Aman Bhakti Pulungan, menuturkan bahwa anak di bawah umur 10 tahun memiliki kerentanan yang lebih rendah terhadap infeksi COVID-19 dibandingkan orang dewasa.
"Jadi Indonesia sudah benar mulai dari 6 sampai 11 tahun. Terjadi risiko infeksi antara 10 sampai 19 tahun dengan dewasa hampir sama. Usaha mitigasi pada sekolah termasuk vaksinasi COVID-19 sangat dibutuhkan untuk mendukung kesehatan masyarakat dan pembuatan kebijakan pendidikan," ujarnya. [aa/em]