Pada 2012, Presiden Mohamed Morsi yang baru terpilih berjanji bahwa Mesir telah memilih pemerintah yang Islamis namun inklusif. Demokratis namun tidak serta merta pro-Barat.
Sekarang, Morsi, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara hari Selasa (21/4), ditahan bersama ribuan pendukung Ikhwanul Musliminnya. Pemerintah yang menggantikan Morsi menyebut Ikhwanul kelompok teroris. Pasukan keamanan membunuh ratusan anggota lain di jalanan. Ratusan lainnya, termasuk beberapa pemimpin gerakan tersebut, sedang menanti hukuman mati.
Otoritas Mesir mengatakan bahwa Ikhwanul telah bersekutu dengan organisasi-organisasi teroris yang telah menewaskan ratusan polisi dan tentara, serta warga sipil dalam satu setengah tahun terakhir.
"Para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang telah melarikan diri dari negara itu mengganti retorika mereka dan secara resmi meninggalkan komitmen pada gerakan-gerakan damai," ujar juru bicara Kementerian Dalam Negeri Hany Abdel-Latif, menurut harian Mesir, Al Ahram.
Para pemimpin Ikhwanul Muslimin di luar negeri mengatakan organisasi itu masih kuat dan generasi baru pemimpin muda muncul untuk menggantikan mereka yang dipenjara atau dibunuh.
"Peradilannya merupakan parodi keadilan, yang telah diatur dan dikontrol oleh pemerintah dan seluruhnya tidak didukung oleh bukti," ujar Amr Darrag, seorang pemimpin partai politik Morsi, Partai Kebebasan dan Keadilan, dalam sebuah pernyataan dari Istanbul.
Berjam-jam kemudian, ia mengatakan pada wartawan bahwa Ikhwanul akan selalu menganggap para pemimpin yang saat ini sedang dipenjara pemimpin mereka, namun pria-pria baru akan muncul karena "untuk mengatur segala sesuatunya, kita harus ada di luar dan di jantung peristiwa."
Kalah untuk saat ini, atau selamanya?
Namun beberapa analis melihat hukuman Morsi sebagai awal dari akhir untuk Ikhwanul di Mesir.
Klaim Darrag mungkin merupakan tarikan nafas terakhir bagi sebuah organisasi yang sekarat, dimatikan oleh ambisi-ambisinya sendiri, menurut Mohamed Salah, kepala biro Kairo untuk harian Al Hayat yang berbasis di London.
"Sekarang Ikhwanul tidak hanya kehilangan kekuatan politiknya, namun juga kepercayaan publik," ujarnya.
"Mereka bagus sebagai oposisi. Tapi sebagai penguasa? Merupakan kegagalan besar."
Hilangnya kekuasaan dan popularitas mungkin bersifat sementara, menurut para pengamat lainnya. Ikhwanul tidak hanya andal sebagai oposisi, tapi mereka ahli, dengan bakat khusus pada ketahanan, menurut Fahmy Howeidy, kolumnis terkemuka Mesir.
Menggunakan gabungan antara amal dan kesalehan, Ikhwanul telah lama populer di tengah kaum miskin di Mesir dan masih dianggap oleh banyak orang sebagai kelompok religius yang dihukum, bukannya gerakan ekstremis dengan kekerasan.
"Sulit untuk mengatakan bahwa saat mereka dianggap ilegal, semuanya berakhir dan mereka akan tutup," ujar Howeidy.
"Selama lebih dari 80 tahun mereka tetap eksis dan akan terus berlanjut."
Sentimen anti-Ikhwanul Muslimin sangat tinggi di Mesir saat ini, menurut Howeidy, namun perasaan rakyat dapat berubah lagi.
"Mayoritas menentang Ikhwanul sekarang ini," ujarnya. "Tapi ini dapat berubah karena media memainkan peranan besar dalam mengubah pikiran." Jika dan ketika situasi berubah, ujarnya, beberapa anggota Ikhwanul Muslimin yang divonis dapat bebas. "Dari pengalaman kami, mereka akan dibiarkan bebas setelah beberapa tahun."
Ujian nyata bagi demokrasi Mesir, ujar Howeidy, adalah apakah ada ruang politik yang cukup untuk memasukkan generasi Ikhwanul mendatnag.
Namun apakah Ikhwanul Muslimin kelompok politik dan agama yang seharusnya dimasukkan dalam ruang politik Mesir, ataukah ini kelompok ekstremis?
Kekerasan yang terjadi baru-baru ini, termasuk bentrokan di jalan dan semakin banyaknya pemboman, menunjukkan yang kedua, menurut Salah dari Al Hayat.
"Peluang demi peluang datang untuk mereka menjadi bagian dunia politik Mesir, namun kepemimpinan Ikhwanul lebih suka bertindak dengan kekerasan," ujarnya.
"Tidak hanya melawan otoritas, namun juga rakyat."