Prabhu Singh menjadikan Hong Kong sebagai tempat tinggalnya selama 25 tahun, di mana dia menjual gula-gula India dan teh masala di warung mungilnya di ruang bagaikan lubang kelinci yang dijejali dengan pedagang Asia lainnya di Kowloon.
Hampir setiap akhir pekan selama empat bulan terakhir, protes anti-pemerintah telah melintasi jalan di depan tokonya dan polisi baru-baru ini menembakkan meriam air ke masjid terdekat yang sering dikunjungi oleh komunitas asal Asia Selatan. Insiden itu mendorong kepala eksekutif kota Hong Kong meminta maaf kepada masyarakat, banyak di antara mereka telah menetap di sana selama beberapa generasi.
Akibatnya, kata Singh, hidup sedikit kurang manis sekarang. Dia adalah salah seorang dari delapan persen penduduk kota semiotonom China itu yang bukan beretnis Tionghoa.
Konsekuensinya, dia dan rekan-rekannya berada di pinggir kerusuhan terbesar yang pernah terjadi alam beberapa dekade. Imigran di kota ini, yang sebagian besar berasal dari Filipina, Indonesia, India, dan Pakistan, dengan cepat mengatakan bahwa Hong Kong yang menganut paham komersial liberal adalah yang menarik mereka untuk bekerja di sana.
Nuki, warga negara Indonesia, telah tinggal di Hong Kong selama 11 tahun, sebagai pekerja rumah tangga. Pada suatu hari baru-baru ini, ia dan puluhan warga negara Indonesia lainnya sedang berlatih tarian tradisional untuk dipentaskan dalam festival akhir tahun ini.
“Kami berharap Hong Kong akan lebih damai seperti sebelumnya,” katanya. “Saya cinta Hong Kong. Kami cinta Hong Kong,” tambahnya.
Namun, warga Hong Kong mengatakan mereka memahami dilema yang terjadi. Minggu ini, setelah insiden di masjid, mereka berkumpul di dekat Chungking Mansions, yang merupakan pusat imigran, untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap imigran. Mereka mengatakan “akan menjadi suara imigran.” [lt/uh]