India berencana untuk merombak norma-norma hukuman pidana untuk melawan tuduhan hukuman sewenang-wenang, kata beberapa sumber, menyusul kemarahan publik atas vonis terhadap seorang pria yang dituduh melakukan pemerkosaan pada tahun 2022 dalam persidangan yang berlangsung hanya 30 menit. Hakim dalam kasus tersebut, menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Pengadilan yang lebih tinggi di negara bagian timur Bihar kemudian membatalkan vonis tersebut dan memerintahkan pengadilan ulang, dengan mengatakan bahwa pria itu tidak diberi kesempatan untuk membela diri dan hakim telah bertindak dengan “sangat tergesa-gesa.”
Ia juga menyerukan pelatihan lebih lanjut untuk hakim tersebut.
Sebagai tanggapan, pemerintah berencana untuk mengembangkan sistem penilaian untuk memastikan hukuman sesuai dengan kejahatannya, dan membantu menstandarisasi hukuman, sehingga membuat sistem peradilan lebih menyerupai negara-negara seperti Inggris, Kanada, dan Selandia Baru.
Kementerian Hukum dan Kehakiman akan mengungkapkan rencananya kepada Mahkamah Agung sekitar bulan Desember, setelah pengadilan pada bulan Mei meminta pemerintah untuk mempertimbangkan mengadopsi kebijakan hukuman yang komprehensif setelah kasus Bihar, kata salah satu sumber.
Sumber-sumber pemerintah meminta untuk tidak disebutkan namanya karena mereka tidak berwenang untuk berbicara dengan media.
Kementerian Kehakiman tidak menanggapi permintaan komentar.
Sumber tersebut mengatakan bahwa meskipun rencana tersebut belum diselesaikan, salah satu sarannya adalah hukuman minimum yang akan memudahkan para hakim, terutama yang berada di pengadilan yang lebih rendah, untuk menjatuhkan hukuman yang sebanding dengan kejahatannya.
Kebijakan ini akan mencakup semua kasus pidana kecuali kasus Bihar, yang terjadi pada tahun 2021, diadili di bawah Undang-Undang Perlindungan Anak dari Pelanggaran Seksual (POCSO), yang menetapkan hukuman mulai dari tiga tahun penjara hingga hukuman mati.
Sumber itu mengatakan hakim pengadilan yang lebih rendah sering kali memberikan hukuman terberat dalam kasus-kasus seperti itu, mengingat kemarahan seputar kejahatan tersebut.
Pada tahun 2018, seorang hakim pengadilan yang lebih rendah di India tengah memerintahkan hukuman mati untuk seorang pria yang dituduh memperkosa dan membunuh seorang bayi perempuan 23 hari setelah penangkapannya, di tengah-tengah protes di jalanan terhadap kejahatan tersebut.
Lambatnya proses persidangan dan pertanyaan tentang pembelaan hukum yang diberikan kepada terdakwa memicu keprihatinan di kalangan sejumlah pembela hak asasi manusia.
Sistem peradilan India sedang berjuang di bawah tumpukan puluhan juta kasus, termasuk hampir 300.000 pelanggaran seksual terhadap anak-anak, banyak di antaranya di pengadilan jalur cepat yang dibentuk untuk secara eksklusif mengadili insiden kekerasan seksual.
Pada bulan September, kantor berita Reuters melaporkan bahwa pemerintah telah memangkas targetnya untuk membentuk ribuan pengadilan jalur cepat untuk mengadili kejahatan seksual.
Perubahan ini terjadi setelah negara-negara bagian seperti Bengal Barat, di mana pemerkosaan brutal dan pembunuhan seorang dokter baru-baru ini mengguncang negara ini, gagal mencapai target mereka terkait pengadilan semacam itu. [my/ab]
NEW DELHI —
Paling Populer
1