Pemerintah Indonesia ingin mengadakan latihan militer rutin dengan Amerika Serikat dekat Kepulauan Natuna, wilayah di Laut China Selatan dekat tempat-tempat yang diklaim China, menurut juru bicara TNI AL, Senin (13/4).
Meski Indonesia tidak terlibat dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, pihak militer menuduh China memasukkan bagian-bagian Natuna ke dalam apa yang disebut "Nine-Dash Line," garis pembatas samar yang digunakan dalam peta-peta China untuk mengklaim sekitar 90 persen wilayah laut tersebut.
Amerika Serikat, yang menunjukkan keprihatinan Jumat lalu atas reklamasi karang yang pesat oleh China di wilayah tersebut, mengadakan latihan militer gabungan dengan TNI AL akhir pekan lalu di Batam, sekitar 480 kilometer dari Natuna.
"Itu merupakan latihan gabungan kedua yang pernah kita lakukan dengan AS di wilayah tersebut dan kami berencana melakukannya lagi tahun depan. Kami ingin menjadikannya rutin di daerah tersebut," ujar juru bicara TNI Angkatan Laut Manahan Simorangkir.
Latihan militer itu mencakup penggunaan pesawat pemantau dan patroli, seperti P-3 Orion, yang dapat mendeteksi kapal di permukaan dan kapal selam.
Latihan tersebut tidak dapat dilakukan di Natuna karena kurangnya fasilitas untuk mengakomodasi semua pesawat, ujarnya.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pada kantor berita Reuters pekan lalu bahwa ia akan mengunjungi Natuna pada bulan Mei untuk menuntaskan rencana meningkatkan markas militer kecil di sana.
"Selalu ada bandara di Natuna tapi tempat itu tidak memiliki banyak pasukan bersenjata, hanya beberapa marinir," ujarnya.
"Kami akan menambah pasukan di sana, kemungkinan pasukan udara, laut dan darat."
Para pejabat Indonesia mengatakan latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat dan pembangunan militer yang direncanakan di Natuna bukan merupakan respon atas ancaman spesifik.
"Penting untuk mengingat bahwa Indonesia tidak terlibat dalam sengketa apa pun di Laut China Selatan," ujar Monahan. "Kita tidak ingin ada insiden di Laut China Selatan dan berkomitmen pada pendekatan diplomatik yang selalu kita ambil."
Presiden Joko Widodo bulan lalu mengatakan bahwa klaim-klaim utama China atas wilayah mayoritas laut yang disengketakan tidak memiliki basis legal dalam hukum internasional, namun pemerintah Indonesia intin tetap menjadi "penengah jujur" dalam salah satu sengketa wilayah yang paling rumit di Asia tersebut.
Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Taiwan juga memiliki klaim-klaim yang tumpang tindih di Laut China Selatan, tempat melintasnya perdagangan yang dibawa kapal dengan nilai US$5 triliun per tahun.