BANDUNG —
Institut Teknologi Bandung (ITB) meluncurkan laboratorium uji doping yang pertama di Indonesia dan akan segera mengajukan sertifikasi internasional, untuk masuk ke dalam jajaran laboratorium berstandar internasional untuk pengujian penggunaan doping di dunia yang saat ini berjumlah 34.
Dalam peresmian laboratorium tersebut baru-baru ini, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mengatakan laboratorium tersebut diharapkan bisa menguji lebih dari 3.000 sampel.
“Doping itu memang harus diiringi dengan kemajuan teknologi, karena yang namanya sports science, yang namanya pengetahuan dalam bidang olahraga itu berkembang. Ada zat yang bisa dikategorikan doping, tapi dulu tidak,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor ITB Akhmaloka mengatakan ITB akan mengajukan permohonan rekomendasi ke World Anti-Doping Agency (WADA) di Jepang pertengahan tahun ini, untuk mendapatkan akreditasi internasional
Tanpa akreditasi dari WADA, laboratorium tersebut tidak bisa menjadi labotarorium doping, melainkan hanya menjadi laboratorium kimia atau farmasi biasa, ujarnya. Akhmaloka menambahkan, sumber daya manusia yang nantinya akan mengelola laboratorium uji doping di ITB cukup banyak. Mereka terdiri dari para guru besar dan para doktor dari jurusan farmasi, kimia, teknik kimia, fisika, teknik lingkungan, dan para ahli lainnya yang terkait dalam bidang uji doping, ujarnya.
“SDM-nya tidak masalah, kalau SDM-nya itu karena banyak guru besar, doktor-doktor yang memang ahli untuk bidang-bidang seperti itu (pengujian doping),” ujar Akhmaloka.
Laboratorium uji doping di ITB dibangun dengan target dapat digunakan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat.
Peralatan yang dimiliki laboratorium ini diakui belum lengkap, karena peralatan khusus untuk menguji sampel doping tersebut tergolong mahal. Total rencana anggaran biaya termasuk biaya operasional laboratorium dan pelatihan mencapai Rp 136 miliar. Seluruh kebutuhan biaya itu akan dicairkan bertahap hingga 2016 mendatang.
Sebelumnya, Indonesia mengandalkan laboratorium di Malaysia atau Jepang untuk tes doping. Pengujian di kedua negara tersebut biayanya rata-rata sekitar Rp 2,9 juta Rupiah per sampel, dengan waktu pengujian selama satu minggu.
Dalam peresmian laboratorium tersebut baru-baru ini, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mengatakan laboratorium tersebut diharapkan bisa menguji lebih dari 3.000 sampel.
“Doping itu memang harus diiringi dengan kemajuan teknologi, karena yang namanya sports science, yang namanya pengetahuan dalam bidang olahraga itu berkembang. Ada zat yang bisa dikategorikan doping, tapi dulu tidak,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor ITB Akhmaloka mengatakan ITB akan mengajukan permohonan rekomendasi ke World Anti-Doping Agency (WADA) di Jepang pertengahan tahun ini, untuk mendapatkan akreditasi internasional
Tanpa akreditasi dari WADA, laboratorium tersebut tidak bisa menjadi labotarorium doping, melainkan hanya menjadi laboratorium kimia atau farmasi biasa, ujarnya. Akhmaloka menambahkan, sumber daya manusia yang nantinya akan mengelola laboratorium uji doping di ITB cukup banyak. Mereka terdiri dari para guru besar dan para doktor dari jurusan farmasi, kimia, teknik kimia, fisika, teknik lingkungan, dan para ahli lainnya yang terkait dalam bidang uji doping, ujarnya.
“SDM-nya tidak masalah, kalau SDM-nya itu karena banyak guru besar, doktor-doktor yang memang ahli untuk bidang-bidang seperti itu (pengujian doping),” ujar Akhmaloka.
Laboratorium uji doping di ITB dibangun dengan target dapat digunakan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat.
Peralatan yang dimiliki laboratorium ini diakui belum lengkap, karena peralatan khusus untuk menguji sampel doping tersebut tergolong mahal. Total rencana anggaran biaya termasuk biaya operasional laboratorium dan pelatihan mencapai Rp 136 miliar. Seluruh kebutuhan biaya itu akan dicairkan bertahap hingga 2016 mendatang.
Sebelumnya, Indonesia mengandalkan laboratorium di Malaysia atau Jepang untuk tes doping. Pengujian di kedua negara tersebut biayanya rata-rata sekitar Rp 2,9 juta Rupiah per sampel, dengan waktu pengujian selama satu minggu.