JAKARTA —
Keputusan ini merupakan reaksi atas pemberitaan aksi penyadapan yang dilakukan badan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat tinggi lainnya.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Jakarta Senin (18/11) menegaskan penyadapan itu berdampak sangat serius terhadap hubungan Indonesia dan Australia. Karena itu, lanjutnya, akan sangat sulit bagi duta besar menjalankan tugasnya dalam kondisi tersebut.
"Memutuskan untuk memanggil pulang duta besar Indonesia di Canberra untuk konsultasi. Mustahil dan tidak mungkin seorang duta besar Indonesia di suatu negara dalam kaitan ini di Canberra Australia, bisa melakukan tugas-tugasnya seperti lazimnya, ditengah suasana yang sangat mengganggu ini. Pemanggilan duta besar untuk konsultasi merupakan langkah yang tidak bisa dianggap ringan, namun langkah yang minimum perlu kita lakukan untuk bisa mengkonsolidasi situasi dan menunjukan sikap kita yang tegas dan terukur," kata Menlu Marty Natalegawa.
Marty Natalegawa menjelaskan, dari informasi yang dihimpun, penyadapan itu dilakukan oleh pemerintah Australia melalui penggunaan misi diplomatik di Jakarta terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Budiono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
"Tindakan penyadapan yang diberitakan dilakukan terhadap Presiden Republik Indonesia setidaknya selama periode 15 hari pada bulan Agustus tahun 2009. bukan hanya bapak Presiden yang disadap pembicaraan telponnya, melainkan juga sosok-sosok lain seperti ibu negara kemudian ada beberapa sosok lain termasuk bapak wapres Budiono dan seterusnya. Ini adalah tindakan yang tidak bersahabat. Satu per satu dilabrak, dicederai dan dilanggar oleh Australia," kata Marty Natalegawa.
Pemerintah Indonesia tegas Marty, juga menyampaikan rasa kekecewaannya atas tanggapan pemerintah Australia yang menganggap remeh kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
"Pemerintah Indonesia mendengar pernyataan-pernyataan dari kalangan tertentu Pemerintah Australia bahwa ini (penyadapan) adalah sesuatu yang dilakukan oleh negara-negara. Jadi pernyataan yang dismissive, seolah-olah ini adalah sesuatu yang lazim dan lumrah dilakukan. Hal ini tidak ada nilai dan tidak ada artinya bagi Indonesia, dan kita menganggap pernyataan itu sangat meremehkan," lanjut Menlu RI.
Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wuriandari kepada VOA menyambut baik sikap tegas yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.
"Di dalam etika Hubungan Internasional penyadapan itu memang menjadi sesuatu hal yang tidak dibenarkan. Apalagi kalo penyadapan itu sampai kepada level yang tertinggi di suatu negara yaitu kepala negara," kata Ganewati Wuriandari.
Harian Inggris The Guardian dan harian Australia, Sydney Morning Herald Senin (18/11) menulis soal praktik Badan Intelijen Australia yang menyadap komunikasi pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat Indonesia lainnya termasuk Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Guardian dan Sydney Morning Herald sama-sama merujuk kepada dokumen Snowden bulan November tahun 2009 lalu.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Jakarta Senin (18/11) menegaskan penyadapan itu berdampak sangat serius terhadap hubungan Indonesia dan Australia. Karena itu, lanjutnya, akan sangat sulit bagi duta besar menjalankan tugasnya dalam kondisi tersebut.
"Memutuskan untuk memanggil pulang duta besar Indonesia di Canberra untuk konsultasi. Mustahil dan tidak mungkin seorang duta besar Indonesia di suatu negara dalam kaitan ini di Canberra Australia, bisa melakukan tugas-tugasnya seperti lazimnya, ditengah suasana yang sangat mengganggu ini. Pemanggilan duta besar untuk konsultasi merupakan langkah yang tidak bisa dianggap ringan, namun langkah yang minimum perlu kita lakukan untuk bisa mengkonsolidasi situasi dan menunjukan sikap kita yang tegas dan terukur," kata Menlu Marty Natalegawa.
Marty Natalegawa menjelaskan, dari informasi yang dihimpun, penyadapan itu dilakukan oleh pemerintah Australia melalui penggunaan misi diplomatik di Jakarta terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Budiono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
"Tindakan penyadapan yang diberitakan dilakukan terhadap Presiden Republik Indonesia setidaknya selama periode 15 hari pada bulan Agustus tahun 2009. bukan hanya bapak Presiden yang disadap pembicaraan telponnya, melainkan juga sosok-sosok lain seperti ibu negara kemudian ada beberapa sosok lain termasuk bapak wapres Budiono dan seterusnya. Ini adalah tindakan yang tidak bersahabat. Satu per satu dilabrak, dicederai dan dilanggar oleh Australia," kata Marty Natalegawa.
Pemerintah Indonesia tegas Marty, juga menyampaikan rasa kekecewaannya atas tanggapan pemerintah Australia yang menganggap remeh kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
"Pemerintah Indonesia mendengar pernyataan-pernyataan dari kalangan tertentu Pemerintah Australia bahwa ini (penyadapan) adalah sesuatu yang dilakukan oleh negara-negara. Jadi pernyataan yang dismissive, seolah-olah ini adalah sesuatu yang lazim dan lumrah dilakukan. Hal ini tidak ada nilai dan tidak ada artinya bagi Indonesia, dan kita menganggap pernyataan itu sangat meremehkan," lanjut Menlu RI.
Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wuriandari kepada VOA menyambut baik sikap tegas yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.
"Di dalam etika Hubungan Internasional penyadapan itu memang menjadi sesuatu hal yang tidak dibenarkan. Apalagi kalo penyadapan itu sampai kepada level yang tertinggi di suatu negara yaitu kepala negara," kata Ganewati Wuriandari.
Harian Inggris The Guardian dan harian Australia, Sydney Morning Herald Senin (18/11) menulis soal praktik Badan Intelijen Australia yang menyadap komunikasi pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat Indonesia lainnya termasuk Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Guardian dan Sydney Morning Herald sama-sama merujuk kepada dokumen Snowden bulan November tahun 2009 lalu.