Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 2.045 orang meninggal, ratusan hilang dan lebih dari 66 ribu rumah hancur akibat bencana gempa dan tsunami Sulawesi Tengah. Palu menjadi pusat jatuhnya korban, diikuti Kabupaten Donggala yang porak-poranda.
Akris Fattah Yunus, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Donggala memaparkan, di daerahnya ada 303 korban meninggal, 205 orang luka, 21.453 rumah rusak. “Ada 75 rumah hilang di kota Donggala. Sebuah area di muara, yang luasnya kurang lebih 3 hektar, tenggelam ke laut. Sampai saat ini korbannya tidak diketemukan karena sudah tertutup lumpur,” kata Akris.
Cerita Akris itu mengonfirmasi betapa dahsyatnya bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Sementara ketika itu, masyarakat maupun pemerintah daerah belum paham bagaimana harus bertindak ketika bencana terjadi. Karena itulah, ada banyak perubahan dilakukan pasca bencana di Donggala. Salah satu yang dilakukan kabupaten dengan garis pantai sepanjang lebih dari 400 kilometer ini, adalah dengan membagi kawasan itu menjadi tiga zona. Dengan tim tangguh dan peralatan di sebar di setiap zona, upaya penanggulangan akan lebih baik ketika bencana terjadi.
“Saat ini kami sudah menetapkan ada zona di wilayah pantai barat. Sudah membangun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dilengkapi dengan kendaraan, segala peralatan berkaitan dengan bencana sudah kami siapkan di zona 2,” kata Akris.
Kebijakan Daerah Diperbaiki
Akris Fattah Yunus menyampaikan itu ketika berbagi pengalaman dalam seminar Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di Kampus UGM, Yogyakarta. Pertemuan ini diselenggarakan oleh BNPB, Kemendes PDTT, dan UGM dengan dukungan pemerintah Selandia Baru. Pejabat penanggulangan bencana dari berbagai kabupaten diundang untuk berbagi pengalaman meningkatkan kemampuan wilayahnya agar lebih tangguh menghadapi bencana.
Dalam bagian lain paparannya, Akris mengatakan Donggala telah mengajarkan pengetahuan kebencanaan selama satu jam setiap hari Jumat, untuk siswa SD, SMP dan SMA. Lumbung pangan untuk menjaga logistik ketika bencana juga diterapkan di 48 desa. Penanaman bakau diperluas karena ada wilayah yang aman dari terjangan tsunami pada September 2018 lalu, sebab terlindungi tanaman ini.
Daerah rawan tsunami juga telah ditandai dengan patok merah dan dilarang untuk dihuni hingga radius 200 meter. Semua ini adalah buah pembelajaran dari bencana gempa dan tsunami tahun lalu.
Selain Donggala, Kota Padang yang mengalami gempa besar pada 2009 juga melakukan banyak perubahan kebijakan. Kota ini selalu berada dalam ancaman tsunami karena berada di pesisir barat Sumatera. Hendra Mardhi, Kepala Pelaksana BPBD Kota Padang menjelaskan, wilayah itu bahkan memindahkan pusat pemerintahan sebagai antisipasi.
“Pada 2015-2016, pusat pemerintahan ini kita pindahkan ke zona hijau. Kantor walikota yang dulu berada di zona merah, sekarang kita tarik ke arah timur sehingga pertumbuhan penduduk ikut mengarah ke timur, sebagian masyarakat, pusat pemerintahan dan sekolah bisa bergeser ke zona hijau yang lebih aman,” kata Hendra.
Kota Padang juga terus meningkatkan anggaran untuk menciptakan daerah yang lebih tangguh menghadapi bencana. Tahun 2017 lalu, BPDB kota itu menerima dana Rp7 miliar. Setiap tahun, anggaran itu dinaikkan Rp1 miliar.
Belajar dari Selandia Baru
Donggala dan Padang adalah dua dari sejumlah daerah yang berada dalam program Strengthened Indonesian Resilience: Reducing Risk from Disaster (StIRRRD). Program ini didanai oleh Program Dana Selandia Baru, dan dilaksanakan oleh UGM bersama GNS Science.
Peter Benfell dari GNS Science memaparkan sudut pandang Selandia Baru yang fokus terhadap konsep negara yang lebih tangguh menghadapi bencana. Sebagai negara yang memiliki resiko bencana alam cukup tinggi, Selandia Baru menerapkan pendekatan dengan penyusunan undang-undang sekaligus pendidikan bagi masyarakat. Salah satu unsur yang dominan adalah peran asuransi, yang menanggung hingga 40 persen dari jumlah kerugian akibat bencana.
Selandia Baru juga memberi perhatian terhadap riset kebencanaan dan pemanfaatan teknologi untuk layanan terkait gempa bumi, gunung berapi dan tanah longsor. Dalam dua puluh tahun mendatang, seluruh riset yang dilakukan diharapkan mampu memberikan pemahaman yang baru tentang bencana.
“Inti riset tentang bahaya kebencanaan ini adalah mengelola risiko dan menyediakan informasi bagi masyarakat. Juga memiliki metode peringatan dini yang lebih efektif, dan melakukan perencanaan yang lebih baik dalam program pengurangan risiko bencana,” kata Peter.
Ekspedisi Destana BNPB
BNPB saat ini juga sedang menggelar Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) di pesisir Selatan Jawa, mulai Banyuwangi di timur hingga Banten di ujung barat. Ekspedisi ini dimulai pada 12 Juli 2019 lalu, dan akan melewati 584 desa di 5 provinsi hingga berakhir pada 17 Agustus nanti.
Ada lebih dari 600 ribu orang tinggal di desa-desa tersebut, dan ekpedisi ini akan menilai sejauh mana mereka siap menghadapi bencana. Apalagi, pantai selatan Jawa tercatat berpotensi mengalami tsunami setinggi lebih dari 20 meter menurut paparan ahli BPPT. Lilik Kurniawan, Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB mengatakan, ekspedisi tersebut hanya sebuah langkah awal.
“Penguatan desa menjadi desa tangguh bencana tidak bisa selesai dengan ekspedisi ini. Melalui ekpedisi ini, salah satu hasil yang akan diperoleh adalah penilaian masing-masing desa. Setelah itu, program ke depan adalah bagaimana menangguhkan masyarakatnya, bekerja sama dengan perguruan tinggi lokal dengan KKN tematik Destana. Kita ajak lembaga usaha lokal. Kita ajak relawan dengan menggunakan dana desa,” kata Lilik.
Data awal yang sudah dikumpulkan, misalnya dari desa di Banyuwangi yang mengalami tsunami pada 1994, ternyata saat ini masih membutuhkan perbaikan infrastruktur.
Tim ekspedisi menemukan jalur evakuasi yang terputus dan membutuhkan pembangunan jembatan. Ada juga data, banyak tempat wisata di wilayah selatan Jawa belum memiliki informasi terkait tsunami.
BNPB menyertakan banyak relawan lokal dalam ekspedisi ini, untuk mempermudah komunikasi.
Lilik juga mengingatkan, dari sisi aturan, pemerintah pusat melalui Kemendagri telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penanggulangan bencana. SPM ini akan berlaku mulai tahun 2020 dan wajib ditaati oleh seluruh pimpinan daerah. Dalam SPM ini dijelaskan tiga acuan utama yaitu bupati atau walikota wajib menginformasikan daerah yang rawan bencana yang ada di wilayahnya. Kepala daerah juga harus membuat program pencegahan dan kesiapsiagaaan, salah satunya melalui Destana. Acuan ketiga adalah pada saat kejadian bencana bupati atau walikota harus menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana. [ns/ab]