Sudah 25 tahun berlalu sejak sejumlah besar negara mengadopsi “Deklarasi Beijing dan Platform Aksi” yang merupakan terobosan penting dunia untuk memajukan hak dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, di seluruh belahan dunia. “Generation Equality” atau “Kesetaraan Generasi” juga diluncurkan pada awal tahun 2020 untuk mendukung “Deklarasi Beijing” itu, yang terwujud dalam beragam upaya mendorong kesetaraan gender.
Alih-alih beragam upaya itu, tahu kah Anda bahwa hingga saat ini hampir 1 dari 4 anak perempuan berusia 15-19 tahun tidak memiliki pendidikan atau latihan kerja yang layak dibandingkan 1 dari 10 anak laki-laki pada usia yang sama?
Data PBB bahkan menunjukkan bahwa pada tahun 2021 mendatang, masih ada 435 juta perempuan dan anak perempuan yang hidup dengan kurang dari $1,90 atau kurang dari 28 ribu rupiah per hari. Ini termasuk 47 juta perempuan dan anak perempuan yang terjebak dalam kemiskinan akibat perebakan pandemi virus corona.
Yang lebih menyedihkan lagi 1 dari 3 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual, yang terus meningkat pada masa pandemi ini. Data ini belum mencakup kekerasan di dunia maya.
Plan International Indonesia Gagas #GirlsTakeOver
Melihat hal ini Yayasan Plan International Indonesia tahun ini menyelenggarakan program #GirlsTakeOver: Sehari Jadi Pemimpin 2020, dengan tema “Freedom Online.” Jika di tahun sebelumnya dipilih anak-anak perempuan untuk menggantikan posisi pejabat penting Indonesia selama satu hari, maka tahun ini anak-anak perempuan terpilih mengambilalih akun media sosial lima tokoh terkemuka.
Dari 600 anak perempuan yang mengirimkan video blog, mengikuti kelas kepemimpinan hingga seminar daring, dipilih lima orang. Mereka adalah Patrichia dari Papua, Devie dari Maluku Utara, Phylia dari Nusa Tenggara Timur, Salwa dari Kalimantan Timur dan Fayanna dari Jawa Barat. Selama satu hari mereka mengelola akun resmi wartawan terkenal Najwa Shihab, penggiat isu kesetaraan gender dan artis Hannah Al Rashid, staf khusus presiden Angkie Yudistia, anggota DPR Muhammad Farhan dan aktivis yang kini Ketua Gerakan Inovator 4.0 Budiman Sudjatmiko.
Lima Anak Perempuan Terpilih
Diwawancarai VOA Minggu pagi (11/10), Fayanna, pelajar usia 15 tahun asal Depok, yang berkesempatan mengelola akun Najwa Shihab, mengatakan sangat senang mendapat kesempatan ini.
“Aku bersyukur banget dapat take over peran Mbak Nana [Najwa Shihab.red] dan berdiskusi langsung dengannya. Beliau orangnya sangat humble. Jadi pada 6 Oktober kemarin aku berdiskusi langsung dengannya tentang kekerasan berbasis online dan kebebasan berekspresi bagi perempuan di Indonesia,” tutur Fayana.
Hal senada disampaikan Patrichia, pelajar asal Jayapura yang bercita-cita kerja di bank, dan dalam #GirlsTakeOver dipercaya mengelola akun Budiman Sudjatmiko.
“Setelah berdialog dan mengambil perannya sesaat, saya mendapat pengalaman dan pelajaran baru. Ia memberi nasihat agar saya berani mencoba hal-hal baru yang positif dan mencari orang yang bisa tukar pendapat untuk melakukan hal-hal yang lebih baik lagi.”
32% Anak Perempuan Alami Kekerasan Berbasis Gender Online
Lebih jauh Fayanna dan Patrichia menilai kegiatan yang fokus pada peningkatan kesadaran akan bahaya kekerasan berbasis gender di dunia maya ini patut dilanjutkan karena banyak remaja putri seusia mereka yang tidak pernah menyadari isu ini.
“Kekerasan berbasis gender di online di Papua misalnya juga masih tinggi. Saya sendiri waktu main sosmed banyak yang mengatakan mereka mendapat pelecehan karena dapat gambar atau konten bermuatan pornografi,” tutur Patrichia.
Fayanna menambahkan, “Anak-anak perempuan seusia saya banyak yang tidak mengerti tentang kekerasan berbasis gender di dunia online dan mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan ketika menghadapinya. Juga soal apa sebenarnya yang mereka bisa dapatkan di media sosial [positif dan negatif.red]. Setelah mengikuti kegiatan ini saya menyadari bahwa kita, anak perempuan, berhak untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, tanpa harus takut merasa diancam atau dibatasi.”
Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Maya Terus Meningkat
Data di Kementerian Komunikasi dan Informatika [Kominfo] menunjukkan penggunaan internet pada masa pandemi Covid-19 meningkat hingga 40%. Berbagai regulasi yang dikeluarkan Kominfo dan perusahaan media sosial untuk memastikan keamanan di ranah daring belum sepenuhnya membuahkan hasil, karena sebagaimana data di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, jumlah kasus kekerasan berbasis gender online terus meningkat. Jika pada tahun 2018 terdapat 65 kasus, pada tahun 2019 meningkat menjadi 97 kasus.
Kekerasan berbasis gender di dunia maya yang dimaksud mencakup ancaman penyebaran foto atau video pribadi, pelecehan seksual hingga ejekan terhadap fisik seseorang. Data di Plan International menunjukkan perempuan 27 kali lebih sering mengalami pelecehan daring dibanding laki-laki.
Media & Communication Manager di Plan International Indonesia, Intan Cinditiara, mengatakan tema #GirlsTakeOver tahun ini yaitu “Freedom Online” atau “Kebebasan di Dunia Maya” sangat sesuai dengan kondisi pandemi saat ini.
“Saat ini banyak anak harus belajar dari rumah dan meningkat banget kegiatan online-nya. Jadi kekerasan berbasis gender tidak saja meningkat di offline, tetapi juga online, seiring semakin sering mereka menggunakan media online. Saat ini Plan International Indonesia juga memiliki kampanye berskala besar yaitu Girls Get Equal, yang mendorong kesetaraan gender, di dalamnya ada #GirlsTakeOver. Kami masih akan mengkaji seberapa detil program ini,” tukas Intan.
Survei Plan International atas 500 anak perempuan di Indonesia yang berusia 15-20 tahun pada tahun 2020 ini mendapati bahwa 32 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan di media sosial. Sedangkan yang pernah atau melihat anak perempuan mengalami kekerasan di media sosial mencapai 56 persen.
International Girls Day 11 Oktober ini memusatkan perhatian agar anak perempuan dapat hidup dalam dunia yang bebas kekerasan berbasis gender, praktik-prakti berbahaya, HIV dan AIDS. Sekaligus mengajak anak perempuan mempelajari keahlian baru untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan, dan mengajak mereka menjadi pemimpin generasi yang dapat mendorong perubahan sosial. [em/lt]