Investigasi yang dilakukan kantor berita Associated Press (AP) menemukan bahwa militer Myanmar telah menggunakan penyiksaan secara sistematis terhadap mereka yang ditahan di berbagai penjuru negara itu sejak mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih Februari lalu.
AP berbicara dengan 28 orang yang pernah dipenjarakan dan dibebaskan dalam beberapa bulan terakhir. Kantor berita itu juga memeriksa berbagai foto, sketsa, surat dan kesaksian dari tiga pembelot tentara untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai sistem penahanan militer Myanmar yang sangat rahasia yang diperkirakan telah memenjarakan lebih dari 9.000 orang.
Mereka yang ditahan termasuk ratusan orang yang melakukan aksi protes di Yangon 3 Maret lalu untuk menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
Militer berhasil membubarkan aksi protes itu, namun kemudian mengejar para demonstran dan menahan sekitar 400 orang. Para tahanan dimasukkan ke dalam truk, dan beberapa di antara mereka dibawa ke tempat interogasi di Yangon.
Jurnalis Nathan Maung menggambarkan pengalamannya di pusat interogasi Yangon seperti dalam neraka. Ia mengungkapkan, dirinya dipukuli berulang kali. "Itu sangat menyakitkan," katanya.
Selain menyelidiki kesaksian sejumlah mantan tahanan, AP mengidentifikasi belasan pusat interogasi yang digunakan militer di Myanmar, selain penjara-penjara dan pusat-pusat penahanan kepolisian.
Matthew Smith, CEO Fortify Rights, sebuah LSM HAM, mengatakan penyiksaan tahanan telah terjadi secara luas di Myanmar.
Sementara aula-aula masyarakat -- dan bahkan istana kerajaan -- telah diubah menjadi pusat-pusat interogasi, menurut AP, sebagian besar penyiksaan terjadi di dalam kompleks militer Gunung Rung di Hakha yang digunakan oleh Batalion Infanteri Ringan 266.
Penyiksaan bukanlah hal baru di Myanmar, dan taktik semacam itu telah digunakan selama beberapa dekade, kata Manny Maung, peneliti Asia untuk Human Rights Watch.
Beberapa gambar dan foto yang diperoleh AP dari para tahanan dievaluasi oleh Dr. Lindsey Thomas, seorang ahli patologi forensik dari organisasi Dokter untuk HAM (Physicians for Human Rights). [ab/uh]