VOA: Bagaimana penilaian Anda dengan kondisi warga yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain karena berbagai persoalan di Tanah Air mereka, termasuk yang datang ke Indonesia?
Louis: Secara global kondisi mereka ini menegaskan perlunya semakin perlunya kerja dan kemitraan secara terus menerus untuk mendukung mereka yang rentan karena perjalanan berbahaya yang mereka lakukan, atau dalam kasus khusus pengungsi maka dukungan diberikan pada mereka yang membutuhkan perlindungan internasional.
Jumlah mereka yang membutuhkan perlindungan internasional atau yang terpaksa bermigrasi di dalam perbatasan mereka sendiri saat ini adalah yang tertinggi (dibanding sebelumnya). Ini indikasi besarnya pekerjaan kita dalam bidang kemanusiaan dan bidang-bidang lain dalam hal kerja sama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi internasional sebagai mitra, tidak saja untuk memberikan bantuan dan mempertahankan standar bantuan yang diberikan, tetapi juga mencari solusi bagi mereka yang telah mengungsi.
Khusus di Indonesia, meskipun Indonesia bukan negara yang menandatangani statuta konvensi (Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967.red), tetapi mereka telah melakukan banyak pekerjaan untuk mendukung kebutuhan kemanusiaan pengungsi di sini. Dan selama bertahun-tahun IOM dan UNHCR telah menjadi mitra pemerintah Indonesia dalam mewujudkan hal itu.
VOA: Sejauh ini tidak ada pengungsi yang ditolak masuk di Indonesia khan? Misalnya dalam kasus kedatangan pengungsi Rohingya, yang datang dengan kapal di pantai-pantai Aceh.
Louis: Tidak. Pemerintah di sini tidak pernah menolak kedatangan kapal-kapal pengungsi. Sebagaimana yang Anda ketahui mereka datang dengan kapal-kapal dalam kondisi mengerikan, melalui perjalanan berbahaya, meninggalkan wilayah konflik karena mencari perlindungan. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia sangat penting. Dalam dua tahun terakhir ini kami menerima sekitar 695 warga Rohingya dalam lima kapal berbeda. Pemerintah sangat memberikan dukungan ketika mereka tiba.
Ada program vaksinasi yang sangat progresif untuk memastikan agar mereka yang tiba dan warga lokal yang membantu aman pada masa pandemi COVID-19 ini. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan meskipun dibandingkan jumlah pengungsi di kawasan dan global, jumlah mereka yang tiba di Indonesia relatif kecil. Anda tadi menyebut pemerintah di Aceh... Benar kami sudah bekerja sama erat dengan pemerintah lokal di sana, juga pemerintah pusat untuk memberi dukungan bagi para pendatang tersebut.
VOA: Di Hari Pengungsi Sedunia kali ini kami fokus pada kondisi anak-anak pengungsi. Adakah program khusus yang dioperasikan IOM bagi mereka di kamp-kamp pengungsi atau tempat penahanan/penampungan?
Louis: Ini pertanyaan penting karena ada sekitar 1.500an anak-anak usia sekolah dalam komunitas pengungsi di Indonesia yang berjumlah sekitar 13.200an orang. Tetapi saya ingin mengkoreksi apa yang Anda sebut sebagai “detention home” atau tempat penahanan karena tidak ada pengungsi yang ditahan di sini. Sesekali terjadi pelanggaran hukum yang membuat mereka ditahan untuk sementara waktu guna menunggu proses hukum, tetapi secara prinsip mereka tidak ditahan di tempat penahanan.
Di Indonesia juga tidak ada kamp pengungsi, sebagaimana yang dikenal di luar. Karena berkat dukungan pemerintah Indonesia, para pengungsi tinggal bersama komunitas masyarakat. Kami sehari-hari bekerjasama dengan pemerintah di 9-10 lokasi, termasuk dengan UNHCR, untuk mendukung para pengungsi di komunitas masyarakat.
Memang ada pengaturan seperti sebuah pusat penerimaan ketika mereka baru tiba di Aceh untuk memastikan terlayaninya kebutuhan mereka, terutama yang membutuhkan tindakan untuk menyelamatkan jiwa, tetapi pada dasarnya tidak ada kamp pengungsi di sini. Pengungsi, khususnya anak-anak pengungsi, hidup dan menjadi bagian dari komunitas masyarakat.
Kami bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat untuk memastikan layanan kesehatan, akses pada vaksin COVID-19 misalnya, dan hal ini telah berjalan sangat baik. Kami juga mengakui pentingnya hak anak-anak pengungsi untuk memperoleh pendidikan. Terlepas dari kebangsaan dan status hukum mereka, penting untuk mengupayakan terwujudnya hak atas pendidikan bagi anak-anak ini.”
VOA: Jadi tidak ada kamp pengungsi karena mereka yang bermigrasi ini tinggal bersama komunitas masyarakat setempat dan anak-anak mereka bersekolah bersama anak-anak warga di mana mereka berada?
Louis: Benar. Berkat dukungan donor dan program kerjasama IOM dan UNHCR, bersama pemerintah Indonesia, kami telah menyediakan semacam perumahan komunitas bagi banyak pengungsi karena kami bekerja keras untuk memastikan adanya solusi komprehensif dan berkelanjutan demi masa depan mereka.
Sejak tahun 2015, dan diintensifkan sejak tahun 2018, ada upaya luar biasa untuk memastikan agar anak-anak pengungsi ini dapat memiliki akses pada pendidikan, dan pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen sangat kuat akan hal ini.
Lewat serangkaian pertemuan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya dengan Satuan Tugas Antar-Kementerian Untuk Urusan Pengungsi di Indonesia, pernah dikeluarkan surat edaran tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Bagi Anak Pengungsi Luar Negeri yang memungkinkan mereka bersekolah di sekolah umum. Surat edaran ini dikeluarkan pada pertengahan tahun 2019 dan sejak saat itu kami telah membuat kemajuan berarti untuk mendorong anak-anak pengungsi bersekolah di sekolah umum.
VOA: Surat edaran ini memungkinkan anak-anak pengungsi bersekolah di semua sekolah publik di mana mereka berada, atau hanya untuk yang berada di Makassar?
Louis: Tidak. Semua kota-kota di mana terdapat pengungsi mengijinkan anak-anak pengungsi bersekolah di sana. Tentu ada isu tentang kapasitas ruang kelas dan isu-isu lain, tetapi IOM memiliki program untuk mendukung biaya sekolah, seragam sekolah dan mendorong kehadiran anak-anak tersebut di sekolah.
Ada beragam dukungan yang juga kami berikan untuk mendukung sistem pendidikan lokal guna mendorong akses anak-anak pengungsi pada dunia pendidikan karena membuat anak-anak pengungsi bersekolah dan menyelesaikan sekolah merupakan bagian penting dalam pekerjaan kami. Untuk itu kami juga memberi dukungan pada orang tua mereka. Hal lain adalah menyediakan kelas bahasa Indonesia dan bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) sehingga mereka segera terintegrasi pada sistem sekolah lokal.
VOA: Apakah mereka akan mendapatkan surat tanda lulus sekolah seperti ijazah, atau hanya sertifikat belajar?
Louis: Hal ini masih dibahas. Mereka memang mendapatkan sertifikat untuk kelas atau tingkat pendidikan yang telah diselesaikan, tetapi sejauh yang kami ketahui, khususnya ketika pengungsi sudah dimukimkan kembali, tidak adanya ijazah sekolah tidak menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan.
Meskipun demikian dalam diskusi dengan pihak berwenang, mereka memahami isu ini dan hal ini terkait dengan peraturan dan standar nasional, dan ini sedang diperbaiki. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memahami masalah ini dan telah menjadi mitra kuat kami untuk menyelesaikannya.
VOA: Kami juga mendapat laporan dari koresponden di Medan dan Aceh bahwa IOM juga memiliki program khusus untuk memulihkan kondisi mental anak-anak pengungsi yang sudah mengalami kekerasan di Tanah Air dan kemudian melalui perjalanan bahaya di laut dan lainnya.
Louis: Benar, kami memiliki apa yang disebut sebagai dukungan psikososial bagi seluruh pengungsi. Tidak saja bagi pengungsi Rohingya, meskipun mereka memang telah mengalami peristiwa traumatis yang sangat mengerikan di tanah air dan perjalanan dengan kapal. Dukungan psikososial merupakan komponen penting dalam dukungan kemanusiaan yang diberikan IOM.
Pandemi dan isolasi terkait pandemi telah menjadi tekanan bagi kita semua, dan semakin meningkatkan stress para pengungsi, yang memang telah mengalami trauma. Kami memberikan bantuan psikiatri dan konseling secara individu, maupun layanan kesehatan umum bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.
VOA: Bagaimana melindungi keluarga pengungsi agar mereka tetap bersama-sama, terlindung dari potensi penahanan secara sewenang-wenang, atau bahkan menjadi korban perdagangan manusia di tengah keterbatasan anggaran dan mungkin juga kurangnya dukungan dari pihak berwenang?
Louis: Kami justru sangat menghargai dukungan pemerintah Indonesia. Kami memiliki kemitraan yang sangat kuat dalam memberikan bantuan PBB kepada para pengungsi dan sekaligus menjalin kemitraan dengan pemerintah lokal dan pusat. Ini semua untuk memastikan agar kita dapat mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul, seperti yang Anda sebutkan tadi, menjadi korban penahanan sewenang-wenang atau perdagangan manusia atau perbudakan modern.
Sayangnya banyak di antara pengungsi yang menggunakan jaringan penyelundup manusia untuk mendapatkan akses keluar dari daerah konflik dan memperoleh perlindungan; dan hal ini mengeksploitasi pengungsi yang sudah rentan. Kami sangat prihatin atas masalah ini.
Bersama aparat kejaksaan, kepolisian dan mitra kami di komunitas masyarakat sipil, kami melawan perdagangan manusia dan perbudakan modern. Tugas utama kami adalah memastikan mereka mendapat perlindungan, perhatian dan dukungan.
VOA: Sayangnya karena Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, tidak banyak yang dapat dilakukan pengungsi ketika berupaya mendapatkan pemukiman kembali ya?
Louis: Resettlement atau pemukiman kembali merupakan tantangan khusus. Kami mendengar dengan sangat jelas suara dan harapan para pengungsi, termasuk rasa frustrasi mereka karena harus menunggu dalam waktu lama untuk penempatan di negara dunia ketiga. Tetapi kami bekerja tanpa henti dengan negara-negara penempatan dan UNHCR secara terus menerus sehingga dapat memukimkan sebanyak mungkin pengungsi yang memenuhi syarat.” [em/ah]