Ketika warga Kurdi sedang merayakan kemenangan dalam referendum untuk menunjukkan kesiapan merdeka dari Irak, pemerintah Irak mengambil tindakan dengan menghukum wilayah otonomi yang siap berpisah itu dengan bertekad menutup wilayah udara dan bergabung dengan Turki guna melangsungkan latihan militer.
Dengan menyebut referendum Kurdi hari Senin (25/9) sebagai hal yang “tidak konstitusional”, parlemen Irak hari Rabu (27/9) meminta Perdana Menteri Haider Al-Abadi untuk mengirim pasukan ke kawasan Kirkuk yang kaya minyak dan dikuasai Kurdi dan menguasai ladang-ladang minyak yang menguntungkan itu.
Parlemen Irak mengatakan kepada 34 negara yang memiliki misi diplomatik di Kurdistan untuk menutup misi mereka dan mendesak Abadi untuk segera memecat Gubernur Kirkuk Najmaldin Karim karena mengizinkan berlangsungnya referendum, dan mengerahkan pasukan ke wilayah-wilayah yang dulu berada di bawah kendali pemerintah Irak sebelum jatuhnya Mosul ke tangan ISIS lebih dari tiga tahun lalu.
“Kami akan mulai memberlakukan otorita federal di wilayah Kurdistan, dan kami sudah mulai melakukan hal itu,” tegas Abadi.
Kantor perdana menteri itu mengatakan Abadi dengan berbicara melalui telfon dengan mitranya di Turki, Perdana Menteri Binali Yildirim, yang mengatakan Turki mendukung seluruh langkah yang diambil pemerintah Irak untuk mempertahankan keutuhan negara itu, termasuk untuk hanya berurusan dengan pemerintah Baghdad terkait ekspor minyak.
Referendum tidak mengikat, tetapi ini merupakan langkah pertama dalam proses yang jelas menuju ke arah tersebut; terlepas dari kecaman keras Irak, negara-negara tetangganya – khususnya Iran, Turki dan Amerika. Negara-negara ini telah menggambarkan referendum itu sebagai destabilisasi yang terjadi ketika semua pihak masih berperang melawan ISIS.
Turki yang juga memiliki minoritas Kurdi yang bergolak, sangat prihatin dengan gerakan kemerdekaan yang sedang melanda kawasan itu. Presiden Recep Tayyip Erdogan mengingatkan bahwa seluruh langkah ekonomi dan militer bisa saja diambil terhadap Pemerintah Regional Kurdi (KPG), dengan menyebut keputusan menyelenggarakan referendum tersebut sebagai “pengkhianatan terhadap Turki”.
Warga Kurdi, yang telah menguasai daerah otonomi di Irak sejak Amerika memimpin invasi untuk menggulingkan Saddam Hussein tahun 2003, melihat referendum hari Senin (25/9) sebagai langkah bersejarah dalam mengejar cita-cita yang sudah beberapa generasi untuk mendirikan negara sendiri. Dalam referendum hari Senin itu 97,2% warga Kurdi setuju untuk merdeka dari Irak.
Meskipun menentang referendum, Amerika mengatakan langkah Irak “tidak konstruktif” untuk menyelesaikan situasi yang ada.
Senator Bob Corker, anggota faksi Republik dari negara bagian Tennessee yang baru-baru ini datang ke Kurdistan, mengatakan ia kecewa dengan keputusan melangsungkan referendum itu meskipun sebelumnya ada beberapa seruan untuk menunda proses tersebut. Ia berharap pejabat-pejabat di sana “bertindak dengan sikap hati-hati dan bijaksana.”
“Saya tidak suka dampak destabilisasi terhadap Irak dan pemilu akan berlangsung tahun depan. Ini akan menghadirkan berbagai isu. Warga Kurdi telah bersahabat baik dengan negara kami. Mereka telah sangat membantu kami dalam perang melawan ISIS,” tandas Corker. [em/al]