Pukul 09.00 WIB, Rabu 27 Juni 2018, Gunretno, Ketua Jaringan Masyartakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) belum juga berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) di lingkungannya. Dihubungi VOA, Warga Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah ini mengaku masih ragu, apakah akan ikut berpartisipasi dalam Pilkada tahun ini atau tidak. Bukan hanya dia, tetapi juga sejumlah tetangganya dari kalangan Sedulur Sikep, memiliki keragu-raguan yang sama.
Gunretno beralasan, hampir tidak ada satupun kandidat dalam Pilkada di berbagai daerah di Indonesia, yang memiliki kepekaan terhadap isu kerusakan alam. Di Jawa Tengah, kata Gunretno, dua kandidat gubernur tidak ada yang berbicara isu lingkungan. Sulit untuk mencari sebabnya, tetapi dia menduga ada peran perusahaan perusak lingkungan di belakang para kandidat dalam Pilkada. Meski, dugaan itu sulit dibuktikan.
“Sampai detik ini warga,tidak hanya di Kendeng, diposisikan dengan sistem dengan pilihan, di mana tidak memilih itu bagian dari memilih itu sendiri. Ada yang khawatir salah pilih, karena tidak ada satupun calon yang dianggap cocok, sehingga setelah terpilih petani tidak lebih ringan bebannya. Memang ada keragu-raguan untuk tidak memilih. Kalau memilih rasanya tidak mungkin pilihannya akan menjadikan lebih baik,” ungkap Gunretno.
Gunretno menyebut, Pilkada Jawa Tengah seperti buah simalakama bagi mereka yang berjuang melestarikan Pegunungan Kendeng dari ekspansi perusahaan semen. Meski begitu, tambahnya, masyarakat Kendeng yang tergabung dalam JMPPK dan maupun dirinya sebagai bagian masyarakat adat Sedulur Sikep, tetap menghormati sistem. Sistem yang menurutnya tetap akan melahirkan pemimpin baru, meski dianggap tidak peduli terhadap isu lingkungan.
“Tetapi masyarakat tidak harus selalu bergantung pada pemimpin. Semua kembali kepada diri kita sendiri. Bagaimana kita berkontribusi pada lingkungan. Mau tidak mau memang harus ada pemimpin. Tetapi kami akan terus bersuara, rakyatlah yang perlu cerdas melihat kondisi ini,” tambahnya.
Masyarakat Kendeng bertahun-tahun berselisih dengan perusahaan semen yang hendak memanfaatkan pegunungan karst di kawasan itu sebagai bahan baku. Sejumlah warga perempuan bahkan beberapa kali menggelar aksi menyemen kaki di depan Istana Presiden di Jakarta.
Indonesia menggelar Pilkada serentak di 17 provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten pada Rabu, 27 Juni 2018. Dalam hitungan cepat sejumlah lembaga survei, petahana di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin diunggulkan atas penantangnya pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziyah. Ganjar berkonflik secara terbuka dengan masyarakat Kendeng terkait pembangunan pabrik semen.
Sementara itu, Walhi Papua menilai pemerintah dan elite politik selama ini lebih mendukung kepentingan bisnis, dan gagal menghormati serta melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP).
Buktinya, kata Direktur Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, hingga hari ini masih terjadi perampasan tanah, perusakan hutan dan ketidakadilan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil membentuk Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) untuk Pilkada Pro Keadilan Ekologis dan Lingkungan, guna menyuarakan hal ini.
“Kami dari Koalisi organisasi masyarakat sipil juga meminta kepada gubernur dan bupati terpilih, untuk menuntaskan penegakan hukum kasus-kasus perusakan dan pencemaran lingkungan, perampasan tanah, perusahaan yang terlibat melakukan dan menimbulkan deforestasi, dan pelanggaran HAM di Tanah Papua,” papar Aiesh.
Koalisi ini berpendapat, saat ini Orang Asli Papua dan lingkungannya mengalami tekanan oleh proyek-proyek yang mengatasnamankan pembangunan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Kekayaan alam, tanah, hutan, tambang dan perairan laut Papua, dieksploitasi dan dikuras untuk kepentingan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tersebut.
Wirya Supriyadi dari Jerat Papua kepada VOA mengakui, isu lingkungan sangat kecil dibahas dalam Pilkada disana. Semua berbicara tentang ekonomi, kesejahteraan, atau pendidikan. Dia melihat, masyarakat Papua harus disadarkan bahwa isu lingkungan sama pentingnya.
“Isu lingkungan ini tidak muncul secara implisit dalam visi misi calon, maka menjadi tugas CSO untuk melakukan kontrol sosial, kaitannya dengan keadilan lingkungan. Jika tidak, maka isu ini akan diabaikan oleh pemimpin yang terpilih,” jelas Wirya yang lembaganya juga terlibat dalam koalisi ini.
Papua sendiri sudah memiliki peraturan daerah (Perda) terkait Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) sejak 2013. Tahun ini akan menjadi sangat penting, karena dalam 5 tahun berlakunya Perda tersebut, ada peluang dilakukan review. Dalam tinjauan ulang inilah, masa depan lingkungan Papua akan ditentukan, terkait dengan target tahun 2013 yang menetapkan Papua akan menjaga 90 persen hutan dan 60 persen hutan lindungnya.
“Dengan banyaknya konsesi datang ke Papua, setelah Sumatera dan Kalimantan. Ini menjadi catatan kritis, bagaimana di satu sisi pemerintah ada niat baik menjaga kelestarian hutan primer, disisi lain ada ekspansi perusahaan. Ini menjadi kontradiksi. Kalau tidak cukup dikawal, hutan tropis paru-paru dunia bisa tinggal nama saja,” tukas Wirya.
Wirya juga menjelaskan, siapapun yang akan terpilih sebagai pemimpin Papua ke depan, akan menghadapi tantangan sangat berat dalam pelestarian lingkungan.
Papua sendiri belum akan memiliki kejelasan hasil Pilkada, karena ada beberapa kasus. Kabupaten Nduga ditunda pelaksanaanya karena alasan keamanan. Dalam pemilihan gubernur, ada kasus dimana surat suara dicuri oleh seorang Ketua Panitia Pemungutan Suara. Pemerintah berjanji menyelesaikan persoalan terkait Pilkada dalam beberapa hari mendatang. [ns/jm]