Sejak pagi, pengamanan di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, diperketat. Pada Senin (26/2), Pengadilan Negeri Jakarta Utara menggelar sidang permohonan memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kepada wartawan usai sidang, salah seorang anggota tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Sapto Subroto menilai tidak ditemukan adanya bukti baru atau novum dalam memori Peninjauan Kembali Ahok. Dia menambahkan pihaknya sudah mengajukan keberatan terkait memori Peninjauan Kembali Ahok tersebut.
Menurut Sapto, tim kuasa hukum Ahok menyimpulkan majelis hakim kasus Ahok telah melakukan kekhilafan. Kesimpulan itu diambil dengan membandingkan antara vonis yang diterima Ahok dengan putusan yang diterima Buni Yani, penyebar rekaman video pidato Ahok.
Sapto mengungkapkan pihaknya sudah menerima memori Peninjauan Kembali Ahok tiga hari sebelum sidang digelar hari ini. Dia menegaskan kasus Ahok tidak dapat dibandingkan dengan perkara Buni Yani.
Baca juga: Hakim Tak Boleh Takut pada Tekanan Massa
"Jadi antara perkara Buni Yani dan perkara terpidana Ahok ini adalah dua delik yang berbeda sebetulnya. Kalau Buni Yani adalah masalah ITE, sedangkan Ahok ini adalah masalah penodaan agama. Tidak ada fakta baru dikemukakan di memori PK mereka. Ini tidak ada kaitannya dan pembuktian tidak ada.
Dalam memori PK yang diajukan, Ahok membandingkan putusan hakim terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, dengan putusan hakim terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung menilai Buni Yani secara sah dan terbukti melakukan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu.
Karena video yang telah terpotong itu, Ahok menjalani persidangan dan kemudian dinyatakan bersalah. Ahok divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim dan saat ini sedang menjalani masa hukuman di Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, sementara Buni Yani divonis 1,5 tahun penjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca juga: Terbukti Bersalah, Buni Yani Divonis 1,5 Tahun Penjara
Josefina Agatha Syukur, anggota tim kuasa hukum Ahok, menjelaskan ada beberapa alasan Ahok mengajukan Peninjauan Kembali, termasuk perkara Buni Yani. Dalam pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), lanjutnya, ada tiga alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Menurut Josefina, pihaknya menjadikan kekhilafan hakim dan putusan perkara Buni Yani sebagai alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Lebih lanjut Josefina mengungkapkan dalam kasus Buni Yani terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh majelis hakim dalam putusannya.
Josefina menambahkan dalam pertimbangannya majelis hakim kasus Buni Yani mengatakan perkara tersebut tidak ada kaitannya dengan kasus Ahok.
"Namun kami melihat bahwa dalam putusan itu sendiri sebenarnya dasar dari Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka kemudian dipidana, itu kan karena dia mengedit apa yang sudah ada di dalam video Pak Ahok. Videonya sendiri memang sama tetapi kalimat yang ditambahkan itu tidak sesuai. Tidak ada kalimat itu di dalam video. Jadi dia menambahkan kalimat yang sangat provokatif," jelas Josefina.
Mengenai alasan kekhilafan hakim, menurut Josefina, pihaknya sudah menyebut hampir semua pertimbangan majelis hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan. Dia menyatakan kekhilafahan majelis hakim kasus Ahok adalah karena mereka sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan para ahli yang diajukan oleh pihak Ahok.
Anggota tim kuasa hukum Ahok lainnya, Fifi Lety Indra, yang juga adik kandung Ahok, menjelaskan salah satu kekhilafan majelis hakim lainnya, yakni langsung menahan Ahok padahal waktu itu Ahok langsung menyatakan banding.
Baca juga: Keluarga Ahok Sampaikan Pencabutan Permohonan Banding
Selain itu, lanjut Fifi, selama proses penyidikan polisi hingga persidangan berlangsung, Ahok tidak pernah ditahan karena dianggap sangat kooperatif.
Fifi menambahkan para pelapor memiliki banyak sekali kejanggalan dan itu tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Ahok. Dia menjelaskan isi Berita Acara Pemeriksaan semua saksi pelapor sama. Selain itu, dia menekankan, tidak ada satu pun penduduk Kepulauan Seribu yang melaporkan Ahok dengan tudingan penodaan agama.
Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang telah berlangsung Senin (26/2) itu hanya untuk menerima bukti-bukti formal yang diajukan oleh pihak Ahok. Kelengkapan formal itu akan diperiksa dan selanjutnya diteruskan ke Mahkamah Agung, yakni pihak yang berhak menerima atau menolak materi permohonan PK tersebut.
Undang-Undang Penodaan Agama
Sebelumnya,sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Setara Institute, Kontras dan Elsam mendesak pemerintah agar mencabut Undang-undang tentang Penodaan Agama.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan Undang-undang tentang Penodaan Agama ini telah memberikan dampak negatif bagi sejumlah warga negara. Selain penyalahgunaan undang-undang yang berakibat pada pemberian vonis yang tidak tepat, UU itu juga memicu tindakan diskriminasi, kebencian, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Baca juga: Pasal Penodaan Agama Dinilai Tak Mungkin Dihapus dalam Hukum Indonesia
Dia juga menyayangkan langkah DPR yang masih memasukkan pasal penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
DPR, tambahnya, harus merumuskan undang-undang secara jelas tentang perlindungan terhadap minoritas keagamaan, karena undang-undang dibuat untuk melindungi individu dan bukan agama. Pemerintah tidak boleh membiarkan penggunaan bahasa yang dapat diinterpretasikan untuk pembatasan secara luas akan kebebasan berekspresi, dan hukum harus diimplementasikan secara obyektif tanpa menjadikan agama minoritas sebagai target.
"Memang paradigma berfikir kalangan pemerintahan kita, akademisi masih kurang sensitif kepada hak asasi manusia dan masih mengedepankan prinsip yang penting melindungi agama. Undang-undang penodaan agama tujuannya melindungi agama ketimbang melindungi hak-hak pribadi mengenai masalah kebebasan beragama," jelas Bonar.
Anggota komisi hukum DPR Arsul Sani mengatakan tidak mungkin pasal penodaan agama dihapus dalam sistem hukum di Indonesia. Alasannya, jika terjadi tindakan penodaan suatu agama dan tidak ada aturan hukum yang berlaku, maka orang akan bertindak semaunya sendiri. [fw/lt]