Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan media komunitas Rohingya mengatakan bahwa mereka menghadapi krisis dalam mengumpulkan informasi rinci tentang tindakan militer Myanmar di Rakhine, terutama karena jaringan “wartawan ponsel” Rohingya yang telah berusia lima tahun umumnya kini tidak berfungsi.
Wartawan ponsel sukarelawan Rohingya, atau wartawan mobil, adalah anggota komunitas muda yang menggunakan telepon genggam mereka untuk mendokumentasikan dugaan pelanggaran di desa-desa Rohingya di Myanmar, dan mengirim informasi ke luar negeri menggunakan Internet.
Pengungsi Rohingya Jafar Arakane, editor portal komunitas Arakan Times, mengatakan 90 persen wartawan mobil yang biasa memberikan informasi kepadanya dari Rakhine telah tidak aktif sejak akhir Agustus, setelah militer Myanmar mengintensifkan “operasi pembersihan” di wilayah itu.
Jafar Arakane yang kini tinggal di Arab Saudi mengatakan, “Atas nama operasi pembersihan, militer Myanmar terlibat dalam pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan orang-orang Rohingya. Di antara semua serangan anti-Rohingya di Myanmar dalam beberapa dekade terakhir, kekerasan saat ini paling mengerikan. Namun, arus informasi dari Arakan sangat sedikit saat ini terutama karena tidak adanya reporter mobile kami. Liputan kekerasan yang bisa kami lakukan sangat buruk.”
Karena sebagian besar desa Rohingya di Rakhine Utara benar-benar sepi, kebanyakan reporter mobil terpaksa melarikan diri bersama penduduk lain ke Bangladesh, kata Ko Ko Linn, pemimpin masyarakat Rohingya yang tinggal di Bangladesh.
Kepada VOA dia mengatakan, “Sebagian di antara mereka hilang dan kami khawatir mungkin mereka telah terbunuh bersama dengan warga Rohingya lainnya. Beberapa dari mereka mungkin masih ada di Arakan, tetapi mereka tidak bisa bekerja sesuai kebutuhan.”
Juru bicara Rohingya itu menuduh kurangnya wartawan dari kantor-kantor berita besar di lokasi kejadian untuk melaporkan apa yang terjadi di sana.
Pada bulan Juni 2012, dugaan pemerkosaan beramai-ramai terhadap seorang wanita Buddhis oleh Muslim Rohingya memicu kerusuhan komunal antara kedua komunitas di negara bagian Rakhine. Sementara Myanmar mengumumkan keadaan darurat dan meminta militer untuk mengendalikan kerusuhan tersebut, para pemimpin masyarakat Rohingya mengeluhkan penyiksaan dan pelanggaran yang dilakukan oleh militer. Para pemimpin komunitas menuduh pasukan keamanan mendukung perusuh Buddha dalam serangan-serangan terhadap Rohingya.
Tuduhan-tuduhan juga muncul ketika itu bahwa media Myanmar menutup-nutupi berita tentang pelanggaran itu.
Para anggota muda komunitas Rohingya di Rakhine kemudian dimobilisasi untuk secara diam-diam mengumpulkan bukti pelanggaran-pelanggaran menggunakan telepon genggam mereka untuk kemudian dikirim ke luar negeri melalui Internet dan media sosial, kata Linn.
Ko Ko Linn menambahkan, “Kami memobilisasi pemuda Rohingya di Rakhine agar menggunakan ponsel mereka untuk mengumpulkan laporan tentang pelanggaran menggunakan foto, video dan klip audio, seperti yang dilakukan oleh para wartawan media. Responnya sangat besar dari pihak mereka dan kami segera berhasil membangun jaringan cerdas kawula muda yang bertindak sebagai reporter di desa-desa Rohingya.”
Ketika kekerasan terjadi di Rakhine tahun lalu, jaringan reporter mobil Rohingya diduga mengirimkan “laporan yang baik” mengenai serangan-serangan yang dipimpin oleh militer di desa-desa Rohingya di seluruh pelosok Rakhine dan dunia mengetahui pelanggaran yang terjadi di sana, kata Linn.
“Sejak Agustus, kekerasan anti-Rohingya di Arakan semakin parah, tapi kami kehilangan sebagian besar reporter mobil kami di sana. Jadi, banyak insiden penyiksaan yang dilakukan dengan kekerasan, pembunuhan dan lain-lain di desa-desa Rohingya tidak diliput.”
Beberapa kelompok HAM telah mengidentifikasi para wartawan mobil itu sebagai pemantau hak asasi manusia Rohingya.
Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia, mengatakan keberanian dan keterampilan para pemantau HAM Rohingya untuk mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran di wilayah mereka, dan kemampuan mereka untuk menyampaikan laporan, foto dan video melalui jejaring Internet ke seluruh dunia memainkan peran yang sangat penting untuk menunjukkan apa yang terjadi dalam kekerasan tahun lalu, dan selama beberapa hari pertama setelah 25 Agustus.
“Mata dan telinga para pemantau Rohingya ini adalah saksi mata terakhir mengenai apa yang terjadi karena badan-badan kemanusiaan, wartawan, dan pemantau internasional belum diberi akses. Pemerintah Myanmar benar-benar telah menutup area ini, dan secara sistematis mereka melanggar hak azasi warga Rohingya dan tidak ada lagi orang di sana untuk memantaunya," imbuh Phil Robertson dari Human Rights Watch. [lt/uh]