Lunturnya nilai-nilai budaya bangsa khususnya budaya Jawa, dapat dilihat dari semakin minimnya pemahaman dan pemakaian bahasa Jawa oleh generasi muda, termasuk murid-murid di sekolah. Bahasa Jawa sebagai salah satu pilar utama kebudayaan suatu bangsa semakin tergerus oleh derasnya budaya asing yang masuk ke Indonesia, sehingga bahasa Jawa semakin tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri.
Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Timur, Rasiyo mengatakan, bahasa daerah yang terkait dengan budaya harus dilestarikan, agar generasi muda mampu menghargai dan memaknai nilai luhur budaya bangsa, demi kemajuan bangsa itu sendiri.
Rasiyo memaparkan, “Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa bahasa daerah itu kaitannya dengan budaya, kalau ini kita biarkan saja mungkin juga dampaknya kepada anak-anak, generasi muda tidak, mohon maaf, tidak paham terhadap unggah-ungguh, perilaku, sopan santun. Makanya dengan bahasa Jawa yang merupakan bagian budaya ini, senantiasa kita lestarikan. Makanya dengan bahasa yang santun, bahasa yang penuh dengan naluri seperti bahasa Jawa ini, saya kira ini salah satu sarana untuk mengembalikan ke jati diri bangsa.”
Kurangnya sosialisasi dan keseriusan dunia pendidikan dalam mengajarkan bahasa Jawa, menyebabkan banyak guru dan murid sekolah kurang mampu menguasai bahasa Jawa.
Peserta Kongres Bahasa Jawa dari Javanologi Jawa Timur, Hapsari Safitri mengutarakan, faktor pendidikan tetap memagang peranan penting dalam melestarikan bahaya dan budaya, selain pembiasaan oleh keluarga dan lingkungan yang ikut mempengaruhi bahasa dan budaya mampu lestari.
“Ya dasarnya memang pendidikan dan bagaimana itu kemudian disosialisasikan, dan menjadi berpengaruh pada orang yang lain gitu. Kembali ke pendidikan, karena anak-anak kita tidak terbiasa, dan kalau contoh kecil saja kalau misalnya anak SD dapat PR, orang tuanya ketika ditanyai bahasa Jawa dia tidak akan bisa jawab. Dan persoalannya adalah, orang tuanya pun ketika dia masih kecil juga tidak dapat pelajaran tentang bahasa Jawa karena orang tuanya juga sudah tidak mulai memakai bahasa Jawa,” ujar Hapsari Safitri.
Sementara, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Windu Nuryanti mengatakan, keberadaan bahasa daerah harus menjadi modal utama bagi bangsa, untuk mampu berbicara di dunia internasional.
“Bahasa daerah itu jangan dianggap sebagai bahasa yang terpinggirkan ya, namun bisa menjadi salah satu kekuatan untuk menuju ke kekuatan-kekuatan diplomasi budaya ke dunia,” demikian harapan Windu Nuryanti.
Sementara itu Paul Sumoharjo, Menteri Sosial Suriname keturunan Jawa mengaku gembira dengan diadakannya Kongres Bahasa Jawa, yang diharapkan mampu membawa manfaat bagi masyarakat Jawa di Indonesia, maupun masyarakat Jawa yang ada di negara Suriname.
Menteri Sosial Suriname itu mengatakan dalam bahasa Jawa, “Iki awake dhewe bungah banget, isok bahasa Jawa, amarga iki mau awake dhewe ngugemi kumpulan wong Jawa satus ewu nang Suriname.”
"Kita ini senang sekali (masih) bisa berbahasa Jawa. Ini karena kita melestarikannya dalam masyarakat Jawa yang jumlahnya 100 ribu orang di Suriname," demikian Paul Sumoharjo.