Era ekonomi global saat ini semakin membuka peluang setiap orang mengembangkan usahanya tidak hanya di satu tempat di dalam negeri, namun juga di daerah lain dan di luar negeri. Iklim perdagangan bebas dunia yang juga dirasakan Indonesia khususnya Jawa Timur, menjadikan Indonesia harus mampu bersaing di tengah ketatnya penetrasi pasar moderen.
Bisnis barang dan jasa dalam bentuk waralaba (franchise) semakin marak dilakukan kalangan dunia usaha, sebagai jaminan keberhasilan usaha dari sisi brand dan kualitas produk. Kondisi ini menjadi perhatian serius kalangan pengusaha dalam negeri, khususnya sektor menengah kebawah yang merasa terancam, pada desakan pasar moderen dari segala penjuru dunia.
Ekspansi pasar moderen dari luar negeri ke Indonesia menjadi perhatian serius para pengusaha lokal, yang menganggap sebagai pesaing utama ditengah ketatnya persaingan pelaku pasar nasional. Tidak hanya negara barat, negara di Asia seperti Malaysia juga melakukan ekspansi pasar di Indonesia, sebagai konsekuensi adanya globalisasi.
Sekretaris Jenderal Malaysian Franchise Association, Mohamad Shukri Salleh mengatakan, dipilihnya Indonesia sebagai pasar waralaba Malaysia lebih pada kedekatan sosial budaya dan geografis, di samping keinginan untuk menggeser usaha bisnis dari negara barat.
Mohamad Shukri Salleh mengatakan, “Harapannya kita tidak mau melihat kita saja berjaya masuk produk Malaysia, kita mau timbal baliknya. Kita mau segi ekonominya sebagai satu rumpunnya kita, mengapa kita banggakan produk-produk barat. Mengapa produk-produk serumpun tak dimajukan. Andai kata ruangnya begitu luas untuk bawa produk-produk daripada Surabaya, Indonesia khususnya ke Malaysia.”
Masuknya pelaku bisnis asing termasuk dari Malaysia ke Jawa Timur, ditanggapi pengusaha muda lokal asal Surabaya, sebagai bentuk kurangnya perlindungan pemerintah Indonesia terhadap pengusaha dalam negeri.
Aditiya Wicaksono, pengusaha makanan dan minuman di Surabaya mengungkapkan, dengan serbuan pelaku usaha asing ke dalam negeri, harus menjadi pemacu pengusaha lokal untuk lebih meningkatkan kualitas dan dominasinya di negeri sendiri.
“Saya sih seorang pengusaha, yang ingin agar pengusaha-pengusaha Indonesia itu lebih dominan atau lebih mandiri daripada pengusaha luar. Ini sebetulnya tanggungjawab kita masyarakat dan sebetulnya juga peran pemerintah juga harus ada. Karena serbuan asing mau tidak mau pasti ada, tapi harus dibatasi, karena seolah-olah di negara ini, negara yang sangat bebas, jadi apa pun bisa masuk, yang kasihan adalah pengusaha-pengusaha lokal,” ujar Aditiya.
Sementara itu, Asosiasi Franchise Indonesia menilai masuknya waralaba asing maupun usaha-usaha lain dari luar negeri ke Indonesia, harus disikapi sebagai sarana belajar dan meningkatkan kualitas produksi.
Ketua Asosiasi Franchise Indonesia, Anang Sukandar mengutarakan, globalisasi bidang ekonomi harus dijawab dengan mengangkat keunggulan-keunggulan lokal ke tingkat nasional dan luar negeri, dengan tidak hanya menerima kondisi pasar nasional sebagai tempat pemasaran produk asing.
“Kita sih terbuka saja, artinya buat kita tentunya dunia ini tidak bisa ditutup, jadi kita mau tidak mau ya terbuka. Jangan kata yang soal franchise, retail besar aja sudah terbuka, Carrefour sudah ada di sini segalanya, ya kita sudah tidak bisa nutup lah kalau menurut saya. Tapi kita belajarlah dari mereka. Dengan mereka ada disini, iya kita kurang apa, nah itu kan mulai belajar kita. Tapi tetap, jangan semata kita jadi pasar. Kan Jawa Timur juga banyak peluangnya. Lihat aja ada Rawon Nguling, Rawon Setan, Bakwan Malang,” demikian menurut Anang Sukandar.