Seminggu terakhir ini beredar luas poster yang mengajak warga berhenti membagikan atau membaca informasi tentang COVID-19 karena dikawatirkan semakin menimbulkan stress dan kepanikan, yang ikut menurunkan imunitas tubuh. Poster itu muncul di hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Timur, bahkan ada juga dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Provinsi Jawa Timur, Benny Sampirwanto, membenarkan beredarnya poster itu di sejumlah daerah, tetapi belum diketahui siapa yang membuatnya. Ia menilai ajakan itu justru membuat masyarakat menjadi teledor atau abai terhadap keselamatan diri dan lingkungan sekitarnya, mengenai bahaya COVID-19 yang saat ini semakin merebak.
“Itu menurut saya tidak bagus, karena apa, orang menjadi teledor terhadap COVID-19. Tapi begitu kita tahu, ini pergerakan Covid-19 itu seperti ini, maka masyarakat harus hati-hati, selalu menjalankan protokol kesehatan. Coba dilihat itu sudah ribuan yang meninggal di Jawa Timur, artinya masyarakat harus tahu ini ada bahaya bagi kita, maka ada istilah new normal, normal yang baru itu adalah kita menjalankan protokol kesehatan tadi, pakai masker,” kata Benny Sampirwanto kepada VOA.
Ia mengajak masyarakat mau melakukan klarifikasi atas berbagai informasi yang beredar pada pihak yang terkait. Seperti Kominfo Jawa Timur, yang kata Benny, telah menyediakan berbagai saluran untuk masyarakat agar mendapat informasi yang dapat dipertanggungjawabkan; baik lewat website, media sosial, maupun saluran telepon langsung.
Ajakan setop membagikan informasi seputar COVID-19 juga disayangkan Koordinator Wilayah Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Mojokerto, Cahya Suryani. Menurut Cahya, informasi merupakan bagian dari komunikasi yang menjadi landasan kehidupan sosial. Informasi saling berkaitan dengan komunikasi dan kehidupan sosial, sehingga bila informasi yang benar itu hilang, maka kehidupan sosial akan terganggu.
Cahya mengatakan, informasi tidak dapat dihilangkan atau dihentikan di tengah banjir informasi yang sering menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Namun, masyarakat harus mau bersama-sama mencegah penyebaran kabar bohong atau hoaks, yang merupakan sumber kekacauan informasi di tengah masyarakat.
“Cara untuk mencegah atau meminimalisir banjirnya informasi bukan berarti dengan meniadakan atau meminta setop berbagai informasi mengenai COVID-19, karena sumber utama dari kekacauan informasi itu adalah penyebaran hoaks. Tidak dapat saya bayangkan bagaimana kalau semua informasi tentang COVID-19 itu hilang," katanya.
Membahayakan Publik
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, mengecam penyebaran seruan tidak membaca, mengunggah, dan membagikan informasi atau berita seputar COVID-19. Menurutnya, ajakan ini dapat membahayakan publik karena tidak dapat memperoleh informasi yang tepat dalam menghadapi pandemi ini. Seruan itu juga merupakan pelecehan terhadap karya jurnalistik, karena dianggap dapat menurunkan imunitas tubuh.
Ika mengatakan masyarakat perlu mengetahui perbedaan antara berita yang dibagikan oleh media resmi, serta informasi yang dibagikan tanpa sumber yang jelas atau hoaks. Pemerintah dan aparat terkait, kata Ika, perlu melawan beredarnya narasi yang tidak tepat itu, dan harus menegaskan pentingnya informasi dalam penanganan pandemi virus corona ini.
“Pemerintah juga harus bersama-sama untuk mengcounter, narasi-narasi yang beredar, dan harus menegaskan bahwa informasi juga bagian yang penting dalam penanganan pandemi, karena ini juga akan berkaitan dengan berhasil atau tidaknya pandemi ini bisa dihadapi bersama," paparnya.
Informasi Mutlak Perlu
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra Surabaya, Inri Inggrit Indrayani, mengatakan informasi sangat dibutuhkan agar seseorang untuk mengedukasi diri dan lingkungannya. Informasi juga diperlukan sebagai dasar mengambil kebijakan atau sikap atas suatu hal. Namun banyaknya informasi yang beredar seputar kematian, penyakit, serta kesulitan yang dihadapi masyarakat, menjadikan informasi sebagai penyebab kecemasan atau ketakutan.
Inggrit menilai informasi sebagai sumber pengetahuan tidak dapat dihentikan atau dicegah, namun dapat disaring dan dipastikan bahwa informasi itu berasal dari sumber yang dapat dipercaya. Maka diperlukan informasi yang tidak hanya dari satu sumber saja. Pihak yang memiliki wewenang harus aktif mengedukasi masyarakat dengan informasi yang tepat.
“Masyarakat itu sudah cemas, tapi kalau tidak ada informasi sama sekali itu juga tidak mungkin. Makanya saya bilang informasi itu lebih baik jalan dua arah. Jadi dari perangkat daerahnya juga, satgasnya, RT-RW, Lurah, jadi tidak mengandalkan cuma dari media saja," katanya.
"Karena dari media itu kadang-kadang ada sesuatu yang tidak kita ketahui semuanya, tiba-tiba cuma seperti ini saja. Dan berita itu punya dampak psikologis yang membuat cemas, takut, tidak ada harapan, hopeless," tukas Inggrit.
Informasi COVID-19 Sudah “Overload”
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya (Ubaya), Ananta Yudiarso, menyebut manusia memiliki cognitive laod, atau kapasitas yang terbatas untuk memroses informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka ada cenderung untuk mengabaikan informasi termasuk yang penting. Munculnya poster itu, kata Ananta, menunjukkan masyarakat yang jengah terhadap banyaknya informasi terkait COVID-19, yang kadang saling bertentangan.
“Jadi secara alami, perilaku adaptifnya, ketika orang itu mengalami overload informasi, itu dengan sendirinya dia akan mengabaikan beberapa informasi yang tidak penting, sudah pasti seperti itu," katanya.
"Problemnya adalah ketika mengabaikan itu ternyata ada informasi yang penting. Nah bagaimana caranya, mau tidak mau sebenarnya kembali ke semacam keterampilan digital literasi kita, salah satu caranya adalah dengan menyaring informasi, dengan melihat dari mana sumber berita yang ada itu," ujar Ananta.
Ananta sepakat masyarakat tidak membagikan informasi yang sifatnya pesimistik, maupun berita hoaks yang berbahaya dan sulit dikontrol. Masyarakat dapat menghindari dengan mencari stimulasi yang selalu berbeda dan tidak monoton, agar emosi serta sistem imunitas tubuh tidak terganggu. Sementara itu, pemerintah harus membuat kejelasan dari detail informasi untuk protokol kesehatan, agar mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat yang mengakses informasi. [pr/em]