Presiden Joko Widodo memilih Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso sebagai calon Kepala Badan Intelijen Negara, dan telah mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sutiyoso menjadi calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menggantikan Letjen (Purn.) Marciano Norman.
Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf, hari Sabtu (13/6) mengakui bahwa pemilihan Kepala BIN merupakan hak prerogatif Presiden, meski demikian Presiden Jokowi diharapkan agar tetap memperhatikan aspirasi dari masyarakat.
Menurutnya, Badan Intelijen Negara memiliki fungsi yang sangat strategis dalam konteks keamanan nasional. BIN menurutnya menjadi garda terdepan dalam upaya mendeteksi dini berbagai potensi ancaman yang akan terjadi.
Dia berharap seharusnya kepala intelijen bisa membawa intelijen menjadi lebih efektif, dan untuk itu harus netral secara politik. Menurutnya, Sutiyoso merupakan ketua umum partai dan juga merupakan tim pemenangan dari Jokowi dan Jusuf Kalla.
Kepala BIN, tambah Al Araf, harus seorang yang energik dan memiliki kekuatan fisik prima, karena BIN merupakan mata dan telingan negara. Dia meragukan kriteria ini dimiliki oleh Sutiyoso yang tahun ini telah berumur 70 tahun.
Al Alraf menyarankan agar ketua BIN diambil dari orang dari internal lembaga tersebut. Selama ini, tambahnya, para agen telah berjuang puluhan tahun demi kepentingan keamanan nasional sehingga perlu diberikan promosi dan penghargaan terhadap pengabdian mereka.
Kepala BIN menurut Al Araf juga harus memiliki komitmen dan bebas dari persoalan HAM. Sedangkan Mantan Gubernur DKI Jakarta itu diduga terlibat dalam pembakaran kantor PDIP pada 27 Juli 1996. Saat itu Sutiyoso merupakan Pandam Jaya.
"Ini akan menimbulkan bias pengangkatan beliau, prinsip utama dan penting dari intelijen adalah netral secara politik. BIN hanya mengabdi dan hanya untuk kepentingan negara bukan untuk kepentingan penguasa dan ini yang harus dibangun dalam kehidupan demokrasi," tukas Al Araf.
Al Araf mengatakan rencana parlemen yang akan memanggil KPK dan komnas ham untuk memberikan masukan terkait HAM dan persoaaln korupsi ini penting,karena berdasarkan Undang-undang intelijen, DPR dapat memberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas calon yang dimajukan presiden.
Sementara, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, heran dengan sikap Presiden Joko Widodo yang memilih Sutiyoso sebagai kepala Badan Intelijen Negara.
Menurut Hasanuddin, Sutiyoso memiliki masa lalu yang tidak baik dengan PDI-P terkait peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal dengan "Kudatuli".
Hasanuddin menganggap TNI di bawah Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya saat itu terlibat penyerbuan kantor PDI-P di Jalan Diponegoro.
Hasanuddin menyadari pemilihan kepala BIN adalah sepenuhnya hak prerogatif Presiden Jokowi. Namun, Ketua DPD PDI-P Jawa Barat ini mengklaim kebanyakan kader tidak setuju dengan ditunjuknya Sutiyoso ini.
Dia juga tidak mau cara berpikir soal intelijen pada zaman Orde Baru terbawa lagi pada saat ini. Hal ini sangat berbahaya.
"Kasus 27 Juli merupakan kasus berdarah yang kami tulis dalam sejarah partai, yang kita tuliskan dengan tulisan merah. Tidak bisa memori kolektif itu kemudian hilang begitu saja," tegas TB Hasanuddin.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan pemilihan Sutiyoso sebagai calon kepala BIN oleh Presiden Joko Widodo berdasarkan kapabilitas yang dimilikinya selama berkarir di militer dan pemerintahan.
"Kalau kita berbicara bagi-bagi jatah berarti tidak ada yang lain,ini terbuka. presiden tetap mengutamakan yang paling utama adalah integritas dan tentu saja kompetensi untuk memilih calon kepala BIN," ujar Pratikno.
Pratikno membantah pencalon Sutiyoso sebagai kepala BIN merupakan pembagian jatah jabatan mengingat Sutiyoso merupakan tim pemenangan Jokowi-JK ketika kampanye pilpres 2014 lalu.