Di sela-sela kunjungan kerjanya ke Yogyakarta dan Purworejo, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo tetap memantau situasi dan kondisi keamanan terkini yang terjadi di tanah Papua, terlebih setelah demonstrasi memprotes ujaran rasial di Jawa Timur kini bergulir menjadi aksi kekerasan dan kerusuhan di beberapa kota di Papua.
Dalam konferensi pers singkat dari Alun-Alun Purworejo, Jawa Tengah, hari Kamis (29/8) Jokowi mengimbau kepada seluruh masyarakat Papua agar tetap tenang dan tidak bertindak anarkis, karena hal itu akan merugikan semua pihak.
“Saya terus mengikuti dan juga saya sudah mendapat laporan situasi terkini di Papua, khususnya di Jayapura dan saya minta masyarakat juga tenang, tidak melakukan tindakan yang anarkis, karena kita semua akan rugi bila ada fasilitas umum dan fasilitas publik, masyarakat yang kita bangun bersama menjadi rusak dan dirusak,” ungkap Jokowi.
Ditambahkannya, ia juga sudah memerintahkan Menko Polhukam, BIN dan TNI untuk mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar hukum dan kepada pelaku tindakan anarkis dan juga rasialis. Ditegaskannya bahwa pemerintah tetap berkomitmen memajukan tanah Papua, baik dari segi pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia (SDM) Papua agar senantiasa menjadi lebih maju dan sejahtera.
Presiden juga berpesan kepada seluruh pihak untuk tetap menjaga perdamaian di Indonesia bagian Timur ini.
“Dan mari kita semuanya menjaga agar tanah Papua tetap menjadi tanah yang damai. Saya ajak semua ketua dan tokoh adat, tokoh agama, dan kaum muda Papua untuk mewujudkan Papua yang maju dan tetap damai. Sekali lagi, mari kita jaga tanah Papua menjadi tanah yang aman,” tambahnya.
Jokowi mengatakan sebenarnya minggu ini ia berencana mengundang sejumlah tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama Papua, tapi belum terealisasi. Ia mengusahakan pertemuan tersebut akan dilakukan secepatnya.
Setara Institute: Pemerintah Harus Terus Dorong Pendekatan Kemanusiaan di Papua
Diwawancara secara terpisah, Direktur Elsekutif Setara Institute Ismail Hasani kepada VOA mengatakan situasi yang terus bergolak di Papua disebabkan kurang tepatnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah. Ismail menjelaskan selama ini pemerintah melakukan pendekatan militer guna menyelesaikan permasalahan pelik di Tanah Papua, seperti mengirim pasukan.
Namun menurutnya, hal tersebut justru semakin memancing amarah masyarakat Papua. Belum lagi akses internet yang sampai saat ini, masih dibatasi oleh pemerintah. Pemblokiran internet tersebut, kata Ismail menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau dimonitor oleh banyak orang. Dengan literasi masyarakat Papua yang cenderung sudah meningkat, Ismail menilai bahwa menangkal berita-berita hoaks tidak perlu dengan menutup akses internet, karena cara tersebut justru akan semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah melakukan pendekatan kemanusiaan, yaitu dengan cara mengutus utusan spesial dari Presiden untuk berdialog dengan tokoh-tokoh penting di Papua. Cara tersebut, dipandangnya lebih efektif dibandingkan pendekatan militer yang terus digaungkan oleh pemerintah selama ini.
“Bahwa kita mengusulkan ada special envoy (utusan khusus.red). Bukan Kapolri, TNI yang datang, yang justru malah menambah amarah, tapi harus ada utusan khusus Presiden yang datang, berdialog. Tentu tidak mudah. Tetapi kita punya beberapa orang kunci, sangat berpengalaman dalam bidang perdamaian. Seperti waktu mengurus perdamaian di Aceh, ada Pak JK, itu bisa menjadi utusan khusus Presiden misalnya," kata Ismail.
Ia menambahkan, "Mulai bangun dialog dengan gencatan senjata, karena terlepas belum teridentifikasi dari kelompok mana yang menyerang, tapi hampir bisa dipastikan bahwa mereka yang pro kemerdekaan juga sudah ikut terlibat dalam kerusuhan ini, sehingga aspirasi mereka menjadi muncul. Jadi sebelum semuanya memburuk saya kira belum terlambat untuk Presiden mengirimkan utusan khusus, gencatan senjata, bangun dialog. Sekali lagi dialog itu tidak selalu berujung kepada kemerdekaan. Poin dialog adalah rekognisi kemanusiaan, rekognisi politik, baru kemudian dicari jalan keluar yang sama-sama menguntungkan.” (gi/em)