Jokowi menggelar tantangan bagi para ilmuwan kehutanan terkait hubungan masyarakat dan hutan. Saat ini, ada persoalan penting yang belum dapat diselesaikan, yaitu bagaimana mengelola hutan bagi pertanian dan industri, tanpa merusak perannya dalam konservasi.
“Dalam kenyataannya, agrarisasi dan industrialisasi berbasis hutan masih merupakan sektor ekonomi yang penting, seperti industri kertas, rayon, minyak sawit dan lain-lainnya. Tetapi konsep agrarisasi dan industrialisasi tersebut sering dikontradiksikan dengan konsep pascaindustri yang cenderung konservasi dan konservatif,” kata Jokowi.
Tentu saja, tantangan itu langsung atau tidak, berlaku juga untuk Jokowi sendiri. Dia menyandang julukan rimbawan, seorang sarjana bidang kehutanan. Tantangan itu dia sampaikan dalam forum daring memperingati Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke-57, Jumat (23/10). Jokowi adalah salah satu alumni fakultas ini, dimana dia masuk sebagai angkatan 1980 dan menyandang gelar sarjana kehutanan pada 1985.
Tentu saja, Jokowi fasih berbicara soal bagaimana masyarakat dan hutan mengalami proses evolusi peran dan kontribusi. Pada masyarakat tradisional, ujarnya, hutan menjadi penyedia kebutuhan dasar masyarakat sekitarnya, seperti makanan dan obat-obatan. Pada tahap selanjutnya, masyarakat agraris, hutan menjadi area perluasan bagi kegiatan pertanian dan peternakan. Evolusi berlanjut pada masyarakat industri, di mana hutan berperan sebagai sumber bahan baku industri.
Bagi masyarakat pascaindustri, kata Jokowi, hutan berperan sebagai basis pelayanan masyarakat, terutama sumber air bersih, oksigen dan biodiversitas. Sektor kehutanan, dinilai presiden, memasuki era tarik-menarik berkepanjangan, antara hutan dalam konsep agraris, konsep industrial dan konsep pasca industri. Dia mengharap Fakultas Kehutanan UGM mencarikan titik temu dan jembatan kedua sisi itu
Jokowi menawarkan pemanfaatan teknologi digital, dengan apa yang disebutnya sebagai precision forestry. Di dalamnya ada penggunaan teknologi digital dan komputasi, pemanfaatan big data analytics, dan pengembangan kecerdasan buatan.
“Dengan bantuan teknologi ini, semangat gabungan antara penggunaan hutan dalam konsep agraris dan industrial, tanpa mengorbankan pascaindustri, bisa kita kembangkan,” kata Jokowi meyakinkan.
Prabowo dan Ketahanan Pangan
Soal pemanfaatan hutan ini Jokowi memang tidak sekedar bicara. Dia memiliki program ambisius dalam memanfaatkan lahan di Kalimantan untuk lumbung pangan baru. Pimpinan proyek ini, tidak lain dan tidak bukan adalah Menteri Pertahanan, Prabowo Subiyanto. Keduanya sudah berkunjung ke Kalimantan pada Juli lalu untuk memastikan proyek tersebut berjalan sesuai harapan.
Prabowo juga berbicara dalam acara ini, dengan pidato yang jauh lebih panjang dari presiden. Dia mengungkapkan pentingnya pangan sebagai salah satu pertahanan negara. Ketahanan pangan (food security), kemandirian pangan (food resilience), terutama kedaulatan pangan (food sovereignty) harus menjadi tekad bersama, kata Prabowo
Agar bisa berdaulat pangan, Prabowo meminta dukungan semua pihak, dukungan sumber daya lahan cukup, sumber daya manusia tangguh serta dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu sumber daya alam yang penting terkait kedaulatan pangan, ujarnya, berasal dari sumbe rdaya hutan. Lahan hutan dapat menghasilkan pangan dan material kayu berkualitas premium, tentu dengan tata kelola yang berkelanjutan, kata Menhan.
“Hutan-hutan tropis di Indonesia yang masih tersisa perlu dipertahankan dan dilestarikan. Sementara, lahan hutan yang sudah rusak, kritis dan yang belum dioptimalkan perlu dimanfaatkan menjadi lahan – lahan produktif, khususnya untuk mendukung kedaulatan pangan,” kata Prabowo
Mengutip data organisasi pangan dunia, FAO, Prabowo menegaskan dunia terancam kekurangan pangan akibat pandemi dan perubahan iklim. Indonesia harus menyiapkan cadangan logistik nasional, untuk mengamankan pasokan sekaligus mengurangi impor. Pengembangan lumbung pangan di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan sejumlah daerah lain disebutnya menjadi jalan keluar.
Prabowo membela strategi Jokowi, yang menjadikan Kementerian Pertahanan sebagai pemimpin proyek ini. Mengutip aneka strategi perang, dia memberikan pendekatan penyediaan logistik, sebagai strategi menghadapi musuh. Apalagi, dia percaya perang masa depan adalah perang pangan.
Menurut Prabowo, Indonesia memiliki potensi 12,7 juta hektar program perhutanan sosial dalam kawasan hutan. Lahan itu dapat dikembangkan untuk pangan dan material kayu. Hingga saat ini, sekitar 4,2 juta hektar telah diberikan ijin perhutanan sosial kepada kelompok tani. Sekitar dua juta hektar dapat digunakan untuk areal tanaman pangan dah setidaknya satu juta kepala keluarga terlibat dalam program ini.
Untuk mengembangkan program ekonomi di kawasan hutan terkait kedaulatan pangan, Prabowo meminta pemerintah berani berpihak.
“Salah satunya dengan memberikan alokasi kredit kepada sektor kehutanan. Dengan keberpihakan ini, maka kita berharap pertanian pangan modern akan dapat dikembangkan,” lanjut Prabowo.
Dua Sudut Pandang
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr Budiadi memandang penting, mengedepankan fungsi sosial hutan, yang digaungkan lewat program kehutanan sosial. Meski seluruh pihak setuju dengan program ini, realisasi dan manfaatnya dinilai belum nampak.
“Realisasi alokasi lahan yang baru 4,2 juta hektar juga masih jauh dari target 12,7 juta hektar yang direncanakan. Serta sulitnya implementasi program pada level mikro, karena beragamnya kondisi biofisik, sosial dan ekonomi masyarakat petani kita,” papar Budiadi.
Budiadi juga menyinggung mengenai diskursus kebangkitan kejayaan kehutanan Indonesia. Ada dua sudut pandang yang ada, satu dimiliki rimbawan masa lalu, dan satu diyakini rimbawan milenial. Rimbawan generasi dahulu menggunakan cara pandang eksplotatif dan melihat sumber daya hutan dengan romantisme zaman emas hijau. Faktanya, semua itu sudah tergeser.
Di sisi lain, generasi milenial harus memahami bahwa sumber daya hutan pernah menjadi motor penggerak pembangunan yang sangat penting di era 1970 hingga 1990an.
“Kejayaan kehutanan perlu dibangkitkan lagi, sebagai salah satu penopang kehidupan manusia di muka bumi, namun tidak sekadar memandang sumber daya hutan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi. Komoditas hasil hutan yang dimanfaatkan harus berorientasi kepada material unggul dengan nilai tambah yang tinggi,” ujar Budiadi. [ns/ab]