Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah menyatakan telah menangguhkan penahanan ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendy Buhing dan empat orang lainnya sejak Kamis, 27 Agustus 2020.
Kombes Hendra Rochmawan Kepala Bidang Humas Polda Kalteng dalam pesan singkat yang diterima VOA Jumat (28/8) menjelaskan, penangguhan penahanan itu karena mereka berjanji akan bersikap kooperatif.
“Penyidik Polda Kalteng tetap professional dan untuk tersangka EB tidak dilakukan penahanan karena berjanji untuk kooperatif, yang bersangkutan bersedia hadir oleh penyidik guna pemeriksaan. Demikian halnya untuk empat tersangka lain sudah ditangguhkan,” jelas Hendra Rochmawan.
Effendy Buhing ditangkap pada 26 Agustus 2020 oleh polisi di rumahnya atas dugaan merampas gergaji mesin pemotong kayu dan mengancam petugas PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau pada Juni 2020.
Rukka Sombolinggi dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menilai Effendy Buhing adalah korban kriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat Laman Kinipan di kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah dari penggusuran untuk kepentingan perusahaan perkebunan sawit.
“Yang kita inginkan adalah presiden untuk segera menyampaikan kepada Kapolri, Polisi dalam hal ini tidak boleh bertindak seperti itu dan juga harus menunjukkan bahwa Polisi itu memang pelindung masyarakat bukan pelindung perusahaan,” tegas Rukka yang sekaligus sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam sebuah Keterangan Pers secara daring Kamis (27/8).
KNPA menyebutkan wilayah adat Laman Kinipan, pemukiman dan tanah pertaniannya pada 2018 digusur oleh PT. SML dengan menggunakan alat berat untuk memungkinkan pembangunan perkebunan sawit. PT. SML berdalih bahwa penggusuran dan perambahan hutan tersebut dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015.
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) Atas Nama PT Sawit Mandiri Lestari seluas 9.435,2214 Hektar.
Pelepasan hutan dan pemberian HGU itu dinilai cacat hukum karena tanpa persetujuan masyarakat adat Laman Kinipan sebagai pemilik wilayah adat. KNPA menyebutkan Keputusan Menteri LHK dan ATR/BPN telah mengakibatkan tergusur dan hilangnya hutan adat seluas 3.688 hektar (hasil penelaahan peta HGU dan wilayah adat di Kementerian ATR/BPN, Agustus 2019) dan masih akan bertambah mengingat luasnya HGU tersebut.
“Kepada KLHK kami meminta supaya menteri KLHK mencabut izin pelepasan kawasan, juga kami menuntut menteri ATR (Agraria dan Tata Ruang) untuk segera mencabut izin usaha dari perusahaan ini,” harap Rukka.
Menurut Rukka hingga kini konflik agraria di wilayah adat Laman Kinipan tak kunjung selesai karena diacuhkan Menteri LHK, ATR/BPN dan pemerintah daerah setempat.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, menilai negara perlu segera membahas Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat agar hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi, serta mengoreksi kebijakan di masa lalu terkait penerbitan izin-izin penguasaan lahan di atas wilayah adat.
“Ini adalah masalah struktural, ini adalah akar masalah dari tidak diakuinya keberadaan masyarakat adat, tidak diakuinya hak-hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yang diberikan mandat oleh rakyat untuk mengatur, bukan memiliki dan berbuat seenaknya di atas tanah-tanah rakyat,” tegas Nur Hidayati.
Dalam pernyataan sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) juga mendesak agar Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau mengakui sekaligus menetapkan wilayat adat Laman Kinipan.
Menurut Situs lingkungan Mongabay masyarakat adat Laman Kinipan, yang secara turun temurun tinggal di Kecamatan Batang Kwa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, terdiri atas 239 keluarga, atau 938 jiwa. Luas wilayah adat Laman Kinipan adalah sekitar 16 ribu hektar, yang terdiri dari 70 persen hutan rimba dan 30 persen lahan garapan masyarakat dan pemukiman. Hutan rimba itu memiliki arti penting bagi masyarakat karena menjadi sumber obat, papan, pangan, dan air. [yl/ab]