Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5) lalu.
Kenaikan iuran ini berlaku untuk peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34. Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.
Dalam Perpres ini disebutkan bahwa kenaikan untuk peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000 dari Rp80.000. Lalu kelas II peserta mandiri naik menjadi Rp100.000 dari semula Rp51.000 dan untuk kelas III peserta mandiri naik menjadi Rp42.000 dari Rp25.500. Namun, untuk kelas III pemerintah masih memberikan subsidi sebesar Rp16.500, sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500.
Meski begitu, pada 2021 mendatang, pemerintah akan mengurangi subsidi menjadi hanya Rp7.000 saja, sehingga kelas III peserta mandiri tersebut membayar Rp35.000.
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, Jokowi sempat menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen melalui Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang jaminan kesehatan.
Adapun rincian iurannya pada saat itu adalah kelas I naik menjadi Rp160.000, kelas II naik menjadi Rp110.000, dan kelas III naik menjadi Rp42.000. Namun, Mahkamah Agung membatalkan perpres tersebut.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan keputusan untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini adalah untuk menjaga keberlangsungannya, mengingat BPJS Kesehatan sudah mengalami defisit dalam jangka waktu yang lama. “Dengan BPJS, sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS kesehatan,” jelas Airlangga.
Ia pun menekankan bahwa pemerintah akan tetap mensubsidi masyarakat yang tidak mampu agar bisa tetap menggunakan layanan BPJS Kesehatan ini. Ia berharap kepada masyarakat yang mampu untuk tetap membayar iuran, sehingga layanan kesehatan pun bisa tetap diberikan.
“Tentu diharapkan jadi iuran yang bisa menjalankan keberlanjutan operasi BPJS kesehatan. BPJS Kesehatan itu ada dua, ada kelompok masyarakat yang disubsidi, dan ada yang membayar iuran atau dipotong untuk iuran. Tetapi terhadap secara keseluruhan operasionalisasi BPJS itu dirasa diperlukan subsidi pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang harus dilakukan mengingat BPJS Kesehatan ini mengalami defisit yang tidak berkesudahan.
“BPJS itu kan sifatnya gotong royong, harus dipikul oleh masyarakat dan pemerintah. Sehingga kalau pemerintah tidak ada uangnya, maka masyarakatlah yang mampu kan harus bayar, yang tidak mampu kan dibayar oleh negara,” ungkapnya kepada VOA.
Menurutnya, negara sudah menanggung masyarakat yang tidak mampu melalui penerima bantuan iuran (PBI) dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sudah seharusnya, masyarakat yang mampu untuk bisa membayar kenaikan iuran ini, agar operasional BPJS Kesehatan ini bisa terus berlanjut.
“Saya selalu katakan kalau tidak dinaikkan yang dikurangi layanannya. Kalau engga siapa yang bayar? Yang mampu bayar, yang gak mampu kan masuk PBI. Kalau gak mampu kan gratis.jadi pilihannya gak jalan, atau naik atau dikurangi pelayannya. Tinggal dipilih,” ujarnya. [gi/ab]